Pandangan anda sudah sangat berbeda dari sebelumnya. Membuat amarah saya meluap. Membuat kaki saya gemetar. Membuat mata saya memerah. Sudah cukup, dengan ini saja. Sudah cukup sampai disini saja, saya mengerti anda. Kenyataannya saya bukanlah orang yang baik untuk mengerti apa yang anda pikirkan.

Inilah saya, saya dengan segala kekurangan saya. Inilah saya, saya dengan seluruh kebrengsekan saya. Saya yang hanya mengijinkan orang orang yang khusus, yang hanya bisa melihat pribadi saya, melihat isi hati saya, menyentuh hati saya. Saya akan berusaha bertahan demi orang yang memang ingin bertahan dengan saya. Bukan menyalahkan saya, menghina saya, atau memojokkan saya. Kenapa anda harus memandang saya seperti itu?

Menilai rendah apa yang saya lakukan. Menilai rendah apa yang saya pikirkan. Berjuang untuk sesuatu yang saya inginkan. Anda sama sekali tidak mendukung saya, malah terkesan memojokkan saya. Haaa... sudah cukup bualan anda kepada saya. Saya yang sudah sangat sulit untuk mempercayai orang, tidak akan membuka hati kembali pada anda.



Saya tidak tahu apa yang bisa saya perbuat dengan keadaan semacam ini. Yang jelas perasaan kecewa yang sangat tajam seakan menusuk hati saya yang paling dalam. Perasaan ini sama sakitnya dengan perasaan dimana anda tidak dipercaya oleh sahabat baik anda. Sama sakitnya dengan perasaan dimana orang didekat anda mempermainkan perasaan anda. Anda seakan diberi harapan palsu yang seolah olah membawa kita menuju harapan yang nyata dan membara. Tapi apa yang anda dapat? Anda mendapatkan sebuah rasa kecewa yang besar dan kenyataan yang pahit yang mau tidak mau anda makan mentah-mentah.

Tidak ada kalimat positif yang dapat mendukung perasaan anda untuk tetap bertahan dengan keadaan yang ada. Berbagai pikiran positif seakan dihalau oleh gerbang kekecewaan dan guratan luka yang mendalam. Luapan emosi juga sudah tak terbendung lagi. Hanya himpitan air mata yang berusaha meruak keluar yang membuat kita tetap harus menahan luka dan memperkaya sabar.

Ya... memang kita belajar tentang ribuan sabar disini. Tanpa kita sadari, kita dimakan oleh perasaan sabar itu sendiri. Bagaimanapun kesabaran seseorang sangat terbatas. Namun, jika pikiran positif yang selama ini mendukung kita menghilang bagaikan sebuah debu yang tertiup angin, apakah kita sebagai manusia biasa sanggup untuk terus bersabar.

Berucap, terus berucap, terus berucap, sampai tak kering...
Berpikir, terus berpikir, terus berpikir, sampai tak lelah...
Menahan, terus menahan, terus menahan, sampai tak penuh...

Akhirnya hanya berakhir dengan doa dan air mata...