Terlalu banyak kehidupan indah yang membayangi kita. Terkadang kita lupa, saat merasa sehat, saat merasa mampu, bahkan saat kita bahagia, kita akan melewati saat dimana kita sakit, kita lemah, kita sedih, bahkan suatu saat nanti kita akan menemui ajalnya. Namaku Mahmud, aku telah melalui masa muda yang penuh kebahagiaan. Berteman dengan banyak orang, melewati hari-hari dengan nyaman.
Kini, usiaku sudah menginjak 32. Usia yang sudah tak lazim lagi memikirkan kesenangan diri sendiri. Aku pun sudah berkeluarga, istriku bernama Sriani. Kami sudah 5 tahun menjalani kehidupan berkeluarga. Namun, kebahagiaan kami tak cukup lengkap karena kami masih belum juga dikaruniai anak.
Setelah sekian lama menanti buah hati yang akan menemani kehidupan kami, akhirnya impian kami datang juga. Istriku mengandung bayi pertama kami. Rasanya tidak ada hal yang membahagiakan selain mendengar hal itu. Sebenarnya kehidupan kami ini jauh dari berkecukupan tapi penuh dengan keharmonisan dan rasa syukur. Aku hanya seorang tukang becak sedangkan istriku penjual jajanan yang biasa dititipkan ke warung.
Sudah lima bulan istriku mengandung, aku bekerja keras mencari uang. Setiap pagi sampai menjelang sore aku mencari uang dengan mencari penumpang. Di sore harinya aku membantu di bengkel kecil milik saudaraku. Kemudian malam harinya, aku menjaga istriku di rumah. Terkadang aku mendapat tawaran dari kawan-kawanku untuk bekerja sebagai kuli bangunan borongan.
Sebenarnya banyak bantuan dari sanak saudara untuk kelahiran anak pertamaku nanti. Tapi, aku menolaknya. Aku takut suatu saat nanti aku tidak bisa membalas kebaikan mereka. Selagi aku masih kuat dan mampu untuk menghidupi keluargaku, aku akan bekerja sekeras mungkin mencari nafkah.
Malam itu, ketika aku baru saja pulang dari bengkel, aku melihat istriku telah tidur terlelap. Aku bersyukur dia baik-baik saja. Rencananya aku akan mengantarkan istriku ke puskesmas untuk melakukan pemeriksaan rutin besok. Aku pun menghitung uang tabunganku. Aku bersyukur uang tabungan sudah hampir mencapai 5 juta. Aku pun segera menyimpan uangku kembali dan pergi tidur.
Keesokan harinya, entah kenapa badanku terasa lemas. Kulihat istriku sudah bersiap untuk pergi. Dia membangunkanku perlahan. Aku masih terduduk di tempat tidur. Kepalaku pusing tak karuan. Padahal semalam aku baik-baik saja.
“Pak, sudah aku siapin teh. Kelihatannya kok kurang sehat gitu?” tanya Sriani khawatir.
“Makasih, bu. Aku Cuma kecapekan saja. Tunggu sebentar, aku akan segera bersiap.”
Aku segera bersiap-siap dan mengantar istriku ke puskesmas. Dengan becak kesayanganku, aku perlahan dan sangat hati-hati mengantarkannya. Tapi, kepalaku benar-benar sangat pening hari itu. Beberapa saat pandangan mataku terlihat kabur. Sampai teriakan istriku menyadarkanku. Sebuah mobil dari arah berlawanan mengemudi dengan sangat kencang. Dalam hitungan detik mobil itu menyerempet becakku yang berusaha kuhindari. Istriku terjatuh dan mengaduh kesakitan. Sedangkan aku tak sadarkan diri jatuh terpental setelah ditabrak mobil itu. Beberapa orang yang melihat kejadian tersebut segera menolong kami dan melarikan kami ke rumah sakit terdekat.
Sekitar 7 jam aku tak sadarkan diri, ketika tersadar terlihat saudaraku, Muhlish berada di sebelahku. Aku ingat, terakhir kali aku sedang mengantar istriku ke puskesmas sampai aku mengalami kecelakaan itu. Aku langsung bertanya pada saudaraku tentang keberadaan istriku. Ternyata istriku tengah dirawat di ruang ICU. Aku bergegas untuk menemuinya ditemani oleh saudaraku. Dalam perjalanan menuju kamar istriku, aku bertemu dengan dokter yang merawatnya. Kami berbincang beberapa saat.
“Keadaan istri anda cukup memprihatinkan, kehilangan banyak darah. Istri anda memang tidak mengalami keguguran. Tapi, dengan keadaannya yang seperti itu, kecil kemungkinan istri dan anak anda selamat. Kecuali, jika ada cukup banyak darah untuk didonorkan pada istri anda,” terang dokter.
“Golongan darah kami sama, dok. Dokter bisa mengambil darah milik saya,” ucapku kemudian. Dokter tersebut menggelengkan kepalanya. “Maaf pak, kondisi bapak sendiri tidak memungkinkan. Bapak juga sudah kehilangan darah yang cukup banyak. Jika harus kehilangan lagi, saya rasa nyawa bapak bisa terancam,” ucap dokter mencegahku.
Aku menunduk sedih. Muhlish nampak ingin membantuku untuk mencarikan golongan darah yang sama dengan istriku. Kulihat, dia segera pergi untuk mencarikan darah di posko PMI terdekat. Aku kembali untuk melihat keadaan istriku. Tak terasa air mataku ini mengalir. Padahal kami sangat menantikan kehadiran anak pertama kami untuk menemani masa-masa tua kelak. Aku tak kuasa melihat kondisi istriku yang tergeletak lemah dengan sebuah selang menyumbat hidungnya.
Aku pergi ke mushola terdekat untuk melakukan sholat maghrib. Seusai beribadah, aku berdoa pada Allah SWT. “Ya Allah, selamatkanlah istri dan buah hati hamba. Hamba tahu hamba hanyalah manusia lemah. Jagalah dia selayaknya Engkau menjaga hamba-Mu yang Kau cintai. Ya Allah, hamba tak kuasa jika harus kehilangan mereka. Hamba rela melakukan apapun untuk dapat menyelamatkan mereka. Ya Allah, sekali lagi kumohon, selamatkan istri dan anakku…” aku menangis, bersujud memohon keselamatan kedua orang yang aku sayangi. Cukup lama aku bersujud, sampai aku bertekad menyumbangkan darahku untuk istriku.
Aku sadar, mungkin ini adalah hari terakhirku bisa bertemu dengan istriku. Aku menemuinya mungkin untuk terakhir kalinya. “Istriku sayang… Maafkan aku jika selama ini pernah berbuat salah dan tak bisa menjalani peran suami yang baik. Maafkan aku jika nantinya aku tak bisa lagi menjagamu… menjaga anak kita. Teruslah berjuang demi keselamatan buah hati kita. Berjanjilah padaku satu hal, kamu akan menjaga dan menyayanginya menggantikan aku jika nanti aku telah dipanggil terlebih dahulu oleh Yang maha Kuasa. Aku sangat menyayangimu… kau adalah anugrah yang paling indah yang pernah ada dalam hidupku. Kau harus tahu, hati dan cinta ini akan selalu menemani dan menyayangimu,” ucapku. Aku memeluk tubuh istriku dan mengecup keningnya untuk terakhir kali. Kemudian segera pergi menemui dokter untuk mendonorkan darahku untuk istriku. Sebelum itu, aku berpesan pada Muhlish, untuk menyampaikan rasa sayangku pada istriku jika terjadi hal buruk padaku.
Satu minggu berlalu, terlihat Sriani sudah sadar dari tidur panjangnya. Keadaan Sriani berangsur-angsur membaik begitu juga kandungannya. Muhlish tampak menghampiri Sriani yang masih terbujur di tempat tidur. Sriani menyambut Muhlish dengan senyuman.
“Masuk Lis…” ucapnya.
“Bagaimana kabarnya mbak? Maaf baru bisa menjenguk.”
“Alhamdulillah, aku sudah bisa sadar. Katanya sudah sekitar 5 hari aku tidak sadar. Barusan darimana? Kok pakai pakaian hitam? Ada yang meninggal?” tanyanya. Muhlish terdiam. “Oh ya, dimana Mas Mahmud? Apa dia pergi kerja? Bagaimana keadaannya?”
“Maaf mbak, aku ga ngomong sebelumnya sama mbak. Sebenarnya mbak, aku baru saja memakamkan almarhum Mas Mahamud mbak,” ucap Muhlish tak tega.
Air mata terlihat berlinang di pipi Sriani. Dia menangis mendengar kabar itu. Dia tak menyangka hari itu, adalah hari terakhirnya bertemu Mahmud. “Mas Mahmud berpesan bahwa dia sangat menyayangi, mbak. Dia ingin mbak membesarkan anak mbak. Mas Mahmud meninggal karena terlalu banyak mendonorkan darah buat mbak. Karena kalo tidak, mbak dan bayi mbak bisa meninggal. Makanya mas Mahmud… sampai… mengorbankan nyawanya. Padahal aku masih berusaha mencarikan darah buat mbak. Mas Mahmud… keburu-buru nyumbang darahnya. Takut terlambat…” Muhlish nampak menangis menceritakan apa yang terjadi.
Hanya terdengar isak tangis dari Sriani. “Mbak, ikhlasin mas Mahmud ya mbak. Semua ini demi mbak…” ucap Muhlish.
Sriani mengangguk dan bertekad akan menepati janji suaminya untuk menjaga buah hati mereka. Walaupun suaminya tak lagi ada di sampingnya, dia dapat merasakan betapa suaminya mencintai dia dan anaknya lewat aliran darahnya kini.
(Inspired by : Wali – Doaku Untukmu Sayang)

Pernahkah anda merasa dilupakan oleh orang yang anda sayangi? Anda senantiasa menantinya, menanyakan kabarnya, memperhatikannya, bahkan anda selalu merindukan kehadirannya. Tapi, yang anda terima selama ini hanya betapa sibuknya dia, dan betapa tersakitinya hati anda. Entah apa jadinya hati yang telah terlalu banyak bersabar, mungkin saja suatu saat akan meledak dan tak akan dapat menerima semua kenyataan yang ada.
            Aku Irvin, memang hanya seorang mahasiswa biasa di salah satu perguruan tinggi di ibu kota, namun ketulusan cinta dan kasih sayang yang kuberikan tentu tak akan kalah dengan orang-orang berduit. Aku juga bukan orang yang gampang menyerah dan mudah putus asa.
            Sebenarnya, banyak teman-teman di kampus iri denganku. Tentu bukan karena aku ini pintar. Prestasiku di bidang akademik tak cukup bagus untuk dibanggakan. Tetapi, karena seseorang yang telah mendampingiku selama ini. Apa karena dia baik hati dan setia? Salah, semua itu hanya karena dia cantik dan seorang model.
            Tentunya banyak laki-laki termasuk aku mengidamkan sosok wanita cantik yang akan jadi pendamping hidupnya kelak. Tapi, aku baru merasakan hal itu hanya ilusi saja. Bukannya bahagia mempunyai pasangan seperti itu, malah justru lebih banyak terluka.
            Hari ini pun aku benar-benar seperti dicampakkan. Setelah sekian lama kami tidak bertemu, dan jauh-jauh aku menyiapkan segalanya untuk hari ini. Mengingat jadwalnya sangat padat, sampai aku rela meninggalkan acara kampus hanya  untuk menemuinya. Dia terlihat cantik seperti biasa. Dia juga tersenyum sangat manis ketika aku datang. Oh ya, namanya Selphie.
            “Lama nunggu kah? Hehehe.. Thanks udah nyempatin waktu buat hari ini,” ujarku berbasa-basi ria.
            “Ah.. Nggak kok. Benernya pengen juga sih ketemu kamu. Katanya hari ini ada acara kampus. Kok ditinggal sih?”
            “Hehe.. biar gimana juga aku bakal nyoba ngluangin waktu buat kita lah. Apalagi aku tahu jadwal kamu yang…,” tiba-tiba saja handphonenya berdering memecah percakapan.
            “Bentar ya…” dia lalu mengambil handphone-nya dan mulai berbicara dengan seseorang yang menelponnya. Tak lama dia kembali menemuiku.
            “Aduh, aku tiba-tiba ada pemotretan hari ini. Gimana ya? Aku ga enak banget ninggalin kamu. Padahal udah jauh-jauh datang nemenin aku juga,” sesalnya.
            “Iya… gak apa. Aku ngerti kok. Ini juga semua demi karir kamu ke depannya kan. Aku juga gak mau lah lihat kamu gagal menggapai impian kamu selama ini,” ucapku mencoba membuatnya lega. Tapi, sungguh… dalam hatiku, aku sangat kecewa.
            “Maaf banget ya, sayang…”
            “Tenang saja, sayangku… Lagian kayaknya temen-temen di kampus pada nyariin aku. Eh, ga taunya aku kabur buat nemuin kamu, hehe… oh ya, lokasi pemotretannya dimana nih?” tanyaku.
            “Di kantor kok. Cuma buat pemotretan company profile aja. Mau bikin yang baru.”
            “Ya udah, sekalian aku antar ya… Kan satu arah dari sini sama kampus,” tawarku.
            “Emh, gak usah deh, yang… Temenku udah ada yang jemput kok. Bentar lagi juga mau kesana buat pemotretan bareng,” tolaknya. Perasaan kecewa semakin menggerogoti hatiku. Rasanya kesal sekali ketika ada kesempatan untuk menemuinya selalu saja ada celah untuk memisahkan kami kembali.
Tak lama kemudian, sebuah mobil tampak berhenti di depan rumahnya. Dia langsung mengambil tasnya. Aku memakai helmku dan menuntun motorku keluar dari gerbang rumahnya. Semakin terlihat seberapa besar jarak antara kami. Dia memang lebih pantas berjajar dengan kemewahan. Aku berkaca pada diriku sendiri, hanya seorang mahasiswa biasa yang masih meminta uang orang tua untuk keperluan hidup pribadiku. Tapi, aku percaya padanya. Dia tak akan pernah mengkhianati cinta yang sudah tiga tahun ini kami jalin bersama.
            Aku memang berkata padanya akan kembali ke kampus, tapi pada kenyataannya aku kembali ke rumah. Kurebahkan tubuhku di tempat tidurku. Aku memejamkan mata. Rasanya lelah sekali hari ini. Bukan karena lelah fisik, namun lelah hati yang sejak tadi merasakan perihnya kecewa. Ya… sudahlah, lebih baik aku tidur saja…
            Beberapa minggu berlalu, Selphie jarang menghubungiku. Terkadang ketika ku telpon, selalu saja sibuk. Aku ingin tahu keadaannya, aku juga ingin bertemu dengannya, rasanya rindu ini benar-benar menyiksaku. Tapi, aku hanya bisa menunggu. Menunggu dia ada waktu buatku. Hey, Irvin! Mengapa tidak kau datangi saja kantornya? Rasanya itu akan menjadi surprise nantinya. Segera aku bersiap-siap untuk menemuinya. Sengaja aku mencoba untuk tampil sekeren mungkin di hadapannya.
            Aku datang ke kantornya dengan tampilan yang kuanggap paling keren hari itu. Walaupun rintik hujan menghalangi jalanku tapi tekadku untuk bertemu dengannya tak dapat tergantikan. Aku merapikan jaket yang aku kenakan dan menata sedikit rambutku.
            “Permisi, saya ingin bertemu dengan Selphie,” ujarku pada resepcionist yang ada di kantor itu.
            “Dengan siapa?” tanyanya.
            “Irvin,” jawabku singkat.
            “Baiklah, tunggu sebentar. Saya akan menghubunginya,” ucapnya kemudian mencoba menghubungi Selphie melalui telepon kantor. Tak lama kemudian, “maaf mas, mbak Selphie sedang keluar. Mungkin sedang makan siang. Bagaimana kalau ditunggu saja di lobby?” tawarnya kemudian. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Mungkin kesabaranku kembali diuji.
            Aku membolak balik majalah yang tersedia di lobby. Tampak beberapa halaman di dalamnya termuat foto Selphie. Dia nampak cantik dan natural di foto itu. Apalagi aku paling suka melihatnya foto dengan pemandangan alam, sungguh membuatku terkesan. Dulu, aku sering menemaninya. Tapi, sekarang jarang, karena dia lebih banyak foto untuk produk-produk yang ingin dipasarkan.
            Terlihat pintu lobby terbuka dan masuklah sepasang model yang sedang bergandengan dengan mesra. Aku hanya melihatnya sepintas dan tak begitu memperhatikan. Kini aku hanya mendengarkan apa yang mereka bicarakan. “Lain kali aku ga mau makan seafood. Dari dulu aku ga pernah suka, sayang…” ucap model cowok itu.
            “Trus, ntar yang nemenin aku makan seafood siapa? Aku gak mau lho, kalo bukan kamu yang nemenin,” jawab cewek tersebut yang dari suaranya terdengar tak asing di telingaku. Aku mendongak untuk memastikan sekali lagi siapa dia.
            Mataku terbelalak ketika melihat bahwa wanita itu adalah Selphie. “Kenapa? Sel…” ucapku tanpa sadar, membuatnya berpaling melihatku. Selphie pun terlihat terkejut melihatku. Tapi, itu hanya sementara dan kemudian dengan segera membawa cowok yang bersamanya itu masuk di sebuah ruangan. Aku mencoba mengikuti tapi langkahku dihentikan oleh receptionist yang melihat gelagatku.
            “Maaf mas, ruangan itu khusus untuk karyawan,” ucapnya. Aku mundur beberapa langkah kemudian pergi dari kantor itu dengan kekecewaan dan luka yang luar biasa.
            Sesampainya di rumah, aku mulai meragukan Selphie. Memang sejak memulai karirnya di bidang modeling, perlahan Selphie berubah. Awalnya, kami baik-baik saja, terkadang dia juga sering mengeluh padaku tentang beratnya pekerjaan yang ia tanggung. Sesekali dia juga kabur dari pekerjaannya hanya untuk menemuiku. Ucapan rindu dan sayang sering dia ucapkan padaku dulu. Tapi, sekarang bahkan apa saja yang ia lakukan aku tidak tahu. Aku terlalu bersabar untuk mengerti dia.
            Sebuah pesan terlihat baru saja masuk di handphone-ku. Maaf, aku terlalu lama merasa sendiri. Aku ga tahan lagi. Aku memang wanita yang ga punya hati. Aku sudah terpikat dengan hati yang lain sampai meninggalkanmu. Sekali lagi, maaf. Apapun keputusanmu aku bisa terima. Kupikir, itu tadi hanya sekedar pertemanan di dunia entertainment. Tapi rupanya, itu hanya pikiran positifku saja terhadapnya. Aku masih mengingkari kalau Selphie mengkhianatiku. Barulah pesan ini menyadarkanku dan melukaiku lebih dalam lagi. Tak ku balas dan langsung saja ku buang handphone-ku ke kasurku. Aku sudah terlalu lelah memikirkan hubungan kami yang kian lama kian memburuk.
            Dua bulan berlalu, aku mencoba berhenti memikirkannya dan mencoba aktif menjalani kehidupanku tanpanya. Namun bayangan masa lalu seolah menghantui hari-hariku yang kelam. Aku tak pernah menghubunginya begitu pula sebaliknya. Mungkin memang itulah akhir kisah cinta kami. Sejujurnya, aku masih berharap padanya. Entah… rasanya aku yakin dia akan kembali padaku suatu saat kelak.
            Saat aku sedang asyik menggoda adik kecilku yang sedang tidur, tiba-tiba ibuku memanggil. Kupikir, aku ketahuan sedang mengerjai adikku. Karena jika ibuku tahu aku akan dimarahi. “Vin… ada tamu. Tolong bukain pintu, ibu lagi masak nih,” ujar ibuku dari luar kamar.
            Aku perlahan bangkit dari tempat tidurku dan tidak ingin membangunkan tidur adikku yang sudah kugambari wajahnya. Kulihat siapa yang datang ke rumahku. Ku pikir pasti teman-teman norakku di kampus. Tapi ternyata, Selphie tengah berdiri di pintu rumahku. Aku hanya terdiam terpaku sembari kembali mengerutkan senyum yang sudah terurai.
            “Apa?” sapaku.
            Ada waktu Vin? Bisa temenin aku bentar ga?” ujarnya sambil tersenyum dengan mata yang nampak begitu sedih dan pilu.
            “Kemana?” ucapku datar.
            “Emh… terserah, kemana aja juga boleh.” Dia nampak mengharapkan aku menerima ajakannya. Kami pun duduk di pinggir kolam ikan di taman dekat rumah, dia mulai menitikkan air mata ketika dari tadi aku diam tak bicara.
            “Aku ini jahat banget ya…” katanya sambil terisak. Aku hanya diam mencoba tetap cuek atas semua yang telah terjadi antara kami. Isak tangisnya makin jelas terdengar ketika aku tidak lagi meresponnya seperti dahulu. Namun, sesaat kemudian dia berhenti menangis. “Vin, kali ini aku akan jujur sama kamu. Aku sudah punya banyak salah padamu. Kuharap kamu mau maafin aku. Selama kita bersama dulu, sudah tiga kali aku meniti hati dengan yang lain. Semuanya adalah rekan kerjaku di kantor. Tapi, aku ga bisa sayangi mereka kaya aku sayang ke kamu. Kamu yang selalu dukung aku ketika rapuh, yang dari dulu sabar temenin dan ngertiin kondisiku. Setelah kita berpisah, aku nyoba lupain kamu tapi ga pernah bisa. Aku ingin kembali sama kamu. Aku akan lakuin apapun asal kita bisa balik kaya dulu,” ucapnya.
            “Bahkan untuk nglepasin karir?” tanyaku tiba-tiba.
            Dia terdiam sejenak, “aku siap Vin. Percuma rasanya, kalo kamu ga ada  disampingku.”
            Aku hanya tersenyum mendengarnya. Tangannya yang menggenggam erat tanganku perlahan kulepas. “Mending lanjutin aja cita-cita yang selama ini kamu impikan, itu juga udah jadi harapan kita berdua selama ini. Jangan mudah membuangnya gitu aja cuma untuk menarik perhatianku lagi. Maaf Sel, tapi aku udah nutup hatiku buat kamu. Aku… udah punya pacar baru. Aku pun udah janji buat  terus bersamanya sekarang. Ga mungkin aku bisa ingkari janjiku.”
            “Terus gimana dengan janji kita dulu?” tanyanya bersikeras.
            “Janji yang udah kita buat, kamu sendiri kan yang mengingkari dan menghapusnya. Kita udah ga ada janji lagi kaya dulu. Tapi, permintaan maafmu aku terima kok. Aku yakin kamu pasti lebih bahagia tanpa aku.” Selphie tampak menahan air matanya lagi. Dia pun tersenyum, “Jadi gitu, bahkan sampai akhir pun kamu tetap aja berusaha mengalah dan bersabar buat aku. Aku tahu kamu ga punya pacar, aku udah kenal kamu lama kan? Hehe.. Makasih ya.. kamu masih bisa support aku bahkan sampai detik ini. Aku ga akan ganggu lagi. Tapi boleh kan kita jadi teman?”
            Aku hanya mengangguk mengiyakan. Kemudian dia memelukku untuk terakhir kalinya. Kini semua telah berlalu, dan kami hidup dengan dunia kami sendiri. Aku harap, dia bisa menggapai mimpi yang lama dia cita-citakan. Dan aku juga akan menjalani kisah baru dalam hidupku nantinya.

(Inspired by : Kerispatih – Cinta Putih)

Terima kasih sudah membaca... Ditunggu komentarnya ya... ^^

Jika ditelusuri lebih jauh, aku tak pernah tahu sejak kapan aku mulai menyukaimu. Aku juga tidak bisa menghitung berapa lama aku memendam perasaan ini padamu. Ribuan harapan benar-benar terlukis jelas di raut wajahku ketika aku  memandangmu. Walau kau tak pernah tahu apa yang kurasakan selama ini. Yang ku tahu hanya satu, aku menyukaimu…
Kami memang sudah kenal sejak 2 tahun yang lalu. Ketika pertama kali kami bertemu di perkumpulan pecinta Jepang. Tapi tentu saja, aku tidak langsung serta merta menyukaimu. Semua bermula ketika kami sering beda pendapat dan bertengkar. Rupanya kamu ini sosok yang cukup usil bagiku. Freddy, begitulah namamu. Namaku sendiri adalah Khania. Dia sangat ramah pada semua orang, entah itu pria atau wanita. Pengetahuannya tentang Jepang membuatku sangat kagum padanya. Katanya dia pernah pergi ke negeri sakura tersebut.
Ternyata keakraban yang ku jalin dengannya membuat aku memiliki perasaan khusus terhadapnya. Sampai, setiap kali dia akrab dengan wanita lain, aku sudah sangat cemburu. Seperti hari ini, aku dibuatnya cemburu lagi.
“Nih lihat, Nya. Ini temanku di Jepang. Kamu gak punya kan? Dia juga orang Indonesia. Haha, udah lama gak chat ma ni anak,” kata Freddy sembari memperlihatkan facebook­ nya. Aku melihat chat yang ia maksud. Aku terkejut ada kata-kata “honey” disana.
“Ehm, Fred. Dia manggil kamu “Honey”?” tanyaku.
“Iya, kenapa? Oh ya, aku kan belum cerita ya. Dia ini mantanku. Ketika aku balik ke Indonesia, ga berselang lama kami putus. Dasar ni anak, kebiasaan lama gak hilang-hilang. Wajar sih, aku ma dia jadian udah lama banget. Sejak…. Kelas 2 SMP sampe masuk semester pertama kuliah. Berapa ya? Kurang lebih 5 sampe 6 tahunan lah,” ujarnya. Sepintas terlihat senyum mengembang di wajahnya. Aku tahu, sampai saat ini, dia pasti masih menyukainya.
“Hmm… kok bisa putus? Kan sayang, udah lama banget jadiannya,” ucapku menutupi rasa cemburuku.
“Dia gak terima aja aku balik ke Indonesia. Yah… aku menghargai apapun keputusan dia. Kenapa sih tanya-tanya? Kayak wartawan aja.”
Rasanya sudah tidak ada harapan lagi untukku. Aku mulai ragu akan kelangsungan cintaku ini kelak. Tapi, rasa ini pun semakin hari semakin besar padanya. Tak mungkin rasanya bagiku untuk menghentikannya. Aku hanya bisa memendam perasaan ini di lubuk hatiku yang paling dalam.

Sudah 3 bulan berlalu, sejak aku tahu bahwa dia masih memiliki perasaan pada mantannya. Dari password facebook sampe laptop adalah nama mantannya. Tentu saja, dia tak menyebutkan padaku siapa nama mantannya. Aku mulai menjauhinya perlahan-lahan. Begitu juga di bangku kuliah seperti ini. Ahh… aku merasa seperti anak kecil saja. Ketika aku berniat menyapanya, dia melempariku secarik kertas. Kubuka kertas itu, disana jelas tertulis Kemarin aku ditraktir pizza sama Bang Hadi. Haha.
Apa-apaan sih dia? Kenapa harus pamer ke aku coba? Kubalas dengan menulis Trus hubungannya sama aku apa? Kulempar balik kertas itu sampai tepat mengenai kepalanya. Dia mengaduh sedikit, aku pun tersenyum geli. Tak lama, kertas itu kembali padaku dengan tulisan Gapapa, salah sendiri gak ikut. Coba kamu ikut. Pasti dapat traktiran juga. =))
Aku selalu kesal terhadap perilakunya yang sering menyebalkan seperti ini. Terkadang memang dia baik dan ramah, tapi kalau sudah kembali seperti biasa, dia bakal bersikap menyebalkan seperti ini. Tapi, tetap saja aku tidak bisa membencinya. Karena seakan aku sudah buta oleh perasaanku yang semakin dalam padanya.
Aku semakin tidak tahan terhadap ulahnya setiap hari. Aku juga dihujani rindu ketika tak bisa bertemu dengannya. Saat liburan semester ini pun, aku tidak bisa bertemu dengannya walaupun ingin. Dia pergi ke Denpasar, untuk bertemu dengan sanak saudaranya sekaligus berlibur disana. Aku mengikuti status facebook nya. Liburannya terlihat sangat mengasyikkan. Tak jarang pula, dia meng-upload foto terbarunya. Membuatku iri.
Ternyata rindu ini sudah mencapai batasnya. Perasaan ini pun sudah meluap tak karuan. Aku bertekad menyatakan perasaanku ketika dia pulang dari Denpasar nanti. Segenap kekuatan ku bangun agar aku tak merasa canggung atau salah tingkah di hadapannya.
Tapi, rupanya keberanianku tak seperti yang ku kira. Akhirnya aku hanya bisa mengiriminya pesan. Fred, udah lama banget da sesuatu yang pengen aku omongin ke kamu. Tapi ga sempet2… satu lagi, setelah aku ngomong gini, aku mohon jangan berubah atau gimana terhadapku ya. Aku mengirim pesan tersebut dengan keberanian yang sudah sangat luar biasa bagiku.
Rasanya ada sedikit rasa sesal juga mengirimkannya. Tapi, tak lama kemudian dia membalasnya. Ada apa? Aku melongo melihat balasannya. Singkat banget. Tapi, itu sudah jadi ciri khasnya. Kulanjutkan apa yang sudah aku niati dari awal. Jadi gini, ga tau kenapa ya, dari awal tuh aku da perasaan khusus ke kamu. Yah… kamu pasti tau lah. Kadang juga aku kepikiran kamu. Perasaan ini gak ganggu kamu kan?
Cukup lama aku menanti balasan darinya. Sampai aku salah tingkah sendiri di dalam kamar. Sampai sebuah pesan darinya mengejutkanku. Haha, udah ketahuan kok dari awal. Santai aja. Aku melongo melihat balasan yang ga pernah kukira itu. Oh gitu ya, mang tau dari siapa? Lagi-lagi dia hanya membalasnya singkat dan menyebalkan seperti biasa. Ada deh.
Ya udah entah dari siapa kamu tahu, aku cuman pengen ngomong gitu. Ada perasaan lega ketika aku usai menyatakan perasaanku. Sampai aku terbangun di esok harinya. Dia tidak membalas pesanku. Aku gundah lagi, lalu bagaimana perasaannya terhadapku?
Aku tak menyangka, karena pesanku itu, kini tercipta jarak diantara kami. Aku dan dia tak lagi seakrab dulu. Bahkan dia juga jarang menggodaku seperti biasanya. Perasaan sesal menyelimuti hatiku. Sikapnya yang terlalu biasa, membuatku patah hati. Dari sikapnya tersebut, aku bisa menemukan jawabannya. Dia tak ada perasaan apapun padaku.
Suatu ketika, saat mengadakan sharing di perkumpulan pecinta Jepang, aku dan dia datang lebih dulu. Kupikir aku sudah terlambat, tapi aku malah terjebak di situasi yang tak pernah aku inginkan saat ini. aku benar-benar canggung untuk memulai pembicaraan. Rupanya, Freddy membuka  pembicaraan terlebih dulu yang ternyata membahas kejadian waktu itu.
“Nya… Kamu tuh cewek baik-baik. Ramah, kadang-kadang kamu juga lucu. Aku suka kok sama kamu. Tapi, maaf ya, kayaknya kita ga bisa lebih. Lagian aku juga lagi gak mikirin urusan begituan. Serius kuliah dulu aja, trus menggeluti dunia kerja,” ucapnya.
Aku tertegun. Tapi aku sudah bisa menyembunyikan perasaan kecewaku terhadapnya. “Iya, nyantai aja kali. Lagian kan aku cuman pengen ngomong aja. Kalo aku sih juga lagi pengen serius kuliah. Trus ntar kerja, bantu orang tua di rumah.” Dia hanya tersenyum mendengar jawabanku. Tak lama, teman-teman datang, sehingga suasana kembali cair seperti biasa.
Aku kembali ke kehidupanku yang biasa. Berteman akrab dengannya dan saling menjahili seperti biasa. Tapi, sikapnya yang menyebalkan selalu membuatku ingin marah. Sikapnya yang sekarang semakin membuatku kesal. Dia seenaknya sendiri meminta bantuanku. Dan aku selalu ada untuk dia. Tapi, tidak berlaku sebaliknya. Entah apa yang membuatnya berubah semakin menyebalkan.
Sampai tak kuduga, aku mendengar sebuah gosip dia akan kembali ke Jepang. Aku kaget bukan main mendengarnya. Tanpa ragu, aku menanyakan padanya perihal hal itu. “Fred, apa bener, minggu depan kamu balik ke Jepang?” tanyaku.
“Iya, mang kenapa?”
“Trus, kuliah kamu gimana?”
“Aku ngambil cuti. Hehe, ga papa lah. Biarin lah, mundur setahun lulusnya,” katanya sambil cengar cengir.
Aku terkejut bukan main mendengar pernyataan itu darinya. Ingin rasanya aku memohon padanya untuk jangan pergi. Tapi sekali lagi, aku bukan siapa-siapa. Tidak berhak bagiku untuk menahan kepergiannya.
Akhirnya aku melepas kepergian Freddy tanpa bisa menahannya lagi. Aku pun juga tak sempat mengantarkannya pergi ke bandara. Rasanya kemarin itu adalah pertemuan terakhirku dengannya. Aku sangat berharap dia akan kembali. Dan kami bercanda seperti biasa.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Rasanya sudah lama sekali aku tak melihat wajahnya. Sampai beberapa hari semua baik-baik saja. Tapi, entah kenapa rasanya aku ingin melihat wajahnya walau hanya sekedar foto. Sekalian saja aku membuka facebook ku, siapa tahu juga dia sedang online. Aku pun mencari café terdekat yang memiliki fasilitas wifi gratis. Dengan perasaan tak sabar aku pun membuka akun facebook ku. Dua puluh tiga pemberitahuan terpampang jelas disana. Sampai aku menemukan sebuah status di berandaku tentang kabar Freddy. Freddy Yamaotoko in relationship with Mikan no Yuki.
Sekali lagi aku membacanya. Apa ini? Benarkah dia Freddy yang kusukai? Mikan no Yuki? Aku pernah melihat nama akun ini sebelumnya. Bukankah dia mantan Freddy? Tapi, kenapa? Apa yang terjadi? Status itu telah merusak kinerja otakku. Bahkan juga sukses menghancurkan hatiku. Rupanya, perkataannya padaku saat itu, hanya omongan lalu sekedar membuat hatiku lega. Saat itu juga aku ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar dari kelopak mataku.
Aku mencoba menenangkan hatiku yang kacau dan hancur berantakan. Aku sangat kecewa. Sudah kuduga, dia tak akan bisa melupakan mantan kekasihnya. Apalagi, kini Freddy sudah kembali ke negeri dimana mantan kekasihnya tinggal. Tentu saja, perasaan tersebut muncul kembali. Hemh, mungkin sudah saatnya bagiku untuk melupakannya. Dan tak akan berharap lebih lagi padanya. Akhirnya, air mataku keluar dibalik senyumku yang kupaksakan. Bodohnya aku, mencintaimu seperti ini. Padahal dari awal aku sudah tahu, bahwa seujung jari pun kau tak akan pernah berpaling padaku. Terima kasih telah memberikan cinta terindah untukku. Jika, suatu saat kita berjodoh, kuharap aku bisa mencintaimu lebih dalam lagi.

(Terinspirasi dari kisah seorang sahabat)

Deras hujan tak juga berhenti sore ini. Aku memandangi rintik hujan yang turun di langit yang terlihat kelam. Aku menutup tirai jendela dengan kesal. Mungkin hari ini aku tidak bisa menikmati pantai kuta seperti yang biasa kulakukan. Dikala hujan seperti ini, tentu saja usaha toko souvenir yang kumiliki sepi pengunjung. Sebelum tutup, biasanya aku berjalan-jalan dulu untuk menikmati tenggelamnya matahari di pantai kuta.
            Sebenarnya tidak hanya itu, suasana sore di pantai kuta ini menyimpan harapan besar yang selama ini ada di hatiku. Semua terjadi tepat lima tahun yang lalu. Saat dia datang di kehidupanku. Aku mengenalnya saat dia sedang melihat-lihat souvenir di tokoku.
            “Silahkan dilihat-lihat dulu,” ucapku.
            Dia mengambil salah satu souvenir dari kulit kerang. “Berapa?” tanyanya datar. Dari logatnya terlihat sekali kalau dia berasal dari luar negeri. Aku pun menjawabnya dengan menggunakan bahasa inggris. “Twenty thousand rupiahs.”
            “Boleh saya menawar?” tanyanya tetap dengan menggunakan bahasa Indonesia. Aku hanya mengangguk. Kemudian, dia berpikir sejenak. “Bagaimana dengan sepuluh ribu?”
            “I can’t give it. Fifteen thousand. Deal?”
            “Saya tidak mempunyai cukup uang,” jawabnya. Ahh… dia pintar sekali menawar. Lagipula, hari ini belum ada satupun yang dapat aku jual, pikirku.
            “Okey, I give up. This souvenir is yours.”
            Dia terlihat senang. Kemudian dia membayar dengan selembar uang sepuluh ribuan. Aku hanya heran, walaupun aku menjawabnya dengan bahasa inggris, tapi dia tetap memakai bahasa Indonesia.
            “Wait a minute…” ujarku sebelum dia pergi. “I want to ask you something. Why do you speak Indonesian?”
            “Semua orang datang ke negaraku dengan bahasaku. Saya datang ke negaramu dengan bahasamu. Saya mencoba menghargai.”
            “Jadi… Aku Fani. Siapa namamu? Darimana kamu berasal?” tanyaku.
            “Saya Steve. Saya dari Brisbane. Saya baru datang. Saya ingin jalan-jalan. Pantai ini indah,” ucapnya sambil memandang pantai kuta. Ditambah lagi matahari sedang terbenam, menambah indahnya suasana sore itu.
            Aku menutup gerai toko. Dia bertanya padaku, “mengapa kamu tutup toko kamu?” tanyanya.
            “Ya… memang sudah waktunya tutup. Mau kutemani jalan-jalan?” tawarku.
            “Tentu saja,” jawabnya tersenyum.
            Kami berdua berjalan menyusuri pantai. Terkadang dia mengambil beberapa kerang di pasir kemudian melemparnya ke tengah laut. “Ayo, lempar batu ini,” ucapnya. Aku pun mengambilnya dan tak segan melemparnya ke laut. Dia berteriak senang, “Yeah… saya menang. Saya lebih jauh melempar. Ayo sekali lagi,” ajaknya.
            Aku pun merasa tertantang dan memilih batu yang paling ringan kemudian melemparnya ke tengah laut bersama-sama dengannya. Kali ini, lemparanku lebih jauh darinya. “Yak, sekarang aku yang menang,” kataku.
            “Baiklah, sekali lagi. Jika saya menang, saya ingin meminta satu hal pada kamu,” ucapnya. “Kalo kamu kalah? Ganti aku yang meminta satu hal padamu,” ujarku. Kami pun sepakat. Kami berdua mencari batu yang akan kami lempar. Tak lama aku pun telah menemukannya. Dia sendiri nampak masih mencari-cari kemudian terlihat memungut sesuatu. “Saya pasti menang dengan batu ini,” ucapnya.
            Kemudian kami melempar batu itu secara bersama-sama. Rupanya kali ini dia yang menang. Aku sedikit kecewa menerimanya. Tapi, ini hanya sebuah permainan. “Baiklah saya menang. Saya akan mengatakan apa keinginan saya. Mulai sekarang, setiap sore saya ingin berjalan-jalan di pantai ini dengan kamu,” pintanya. Aku terkejut mendengar permohonannya. Kami baru saja kenal. Dia sudah mempercayai aku. Begitu pula aku, entah kenapa aku pun mempercayainya.
            Setiap sore kami melewatkan waktu bersama di pantai itu. Aku pun selalu menunggunya di tokoku. Sebelum jam 6 sore, dia selalu datang ke tokoku dengan wajah konyolnya. Aku selalu tertawa dibuatnya.
Aku juga menceritakan tentang kawan baruku itu pada adikku. Kedua orangtuaku meninggal, aku hidup bersama adikku. Aku tidak melanjutkan sekolahku ke perguruan tinggi dan memutuskan untuk bekerja saja. Toko souvenir ini pun adalah toko milik orangtuaku dulu. Setelah kepergian mereka, akulah yang mengurusnya.
Sampai suatu hari aku tidak menyangka dengan apa yang dia katakan. “Saya cinta kamu,” ucapnya di suatu senja saat aku menemaninya jalan-jalan. “Hah? Apa? Apa aku tidak salah dengar?” ucapku tersipu malu.
“Ini benar. Saya cinta kamu. Saya ingin selalu bersama kamu.” Aku tertunduk malu mendengar ucapan itu. “Apa kamu juga cinta saya?” tanyanya kemudian. Aku sengaja mengulur waktu untuk membuatnya penasaran. “Emh… Menurut kamu?” tanyaku balik sambil tersenyum.
“Menurut saya, kamu juga cinta saya,” jawabnya tanpa ragu. Haha, dasar… terus terang sekali. “Iya… aku juga mencintai kamu,” jawabku. Dia langsung memelukku sebagai tanda betapa bahagianya dia. Tubuhku sampai terangkat karenanya. Hari itu, seakan menjadi hari yang paling bahagia dalam hidupku.
Tak terasa 2 bulan berlalu sejak pertama kali kami bertemu. Sore itu, dia datang membawakan aku sebuket bunga matahari. “Kenapa bunga matahari?” tanyaku heran. Karena tidak biasanya seorang cowok memberikan bunga matahari pada kekasihnya. “Karena kamu seperti bunga matahari. Selalu bersinar dan indah,” jawabnya. Entah itu dari lubuk hatinya atau dia belajar merayu dari orang Indonesia, aku tidak tahu.
Seperti biasa, kami berjalan di tepi pantai. Hari itu, dia tidak ceria seperti biasa. Aku heran kami berjalan tanpa ada hal yang bisa kami bicarakan. “Kenapa murung?” tanyaku.
“Ahh… Saya tidak murung. Saya berpikir ingin mengajak kamu ke Brisbane,” ucapnya. Aku terkejut dengan ucapannya. Hatiku mengatakan kalau ia akan segera pergi dari hidupku. “Saya senang berada di sini. Tapi, saya harus kembali. Saya masih ingin dengan kamu. Saya tidak mau pisah dengan kamu. Saya mohon, kamu ikut ke Brisbane dengan saya,” pintanya sambil memegang kedua tanganku.
Aku pun juga tak ingin berpisah dengannya. Tapi, bagaimana nasib adikku. Aku tak mungkin meninggalkannya. Tentu saja, aku tidak boleh egois. “Maaf, Steve. Aku tidak bisa meninggalkan Indonesia,” jawabku.
“Mengapa?” tanyanya kecewa.
“Apa kau bisa memikirkan hidupku dan keluargaku di Brisbane. Tentu saja, kau akan memiliki kesibukanmu sendiri. Maaf, Steve…” ucapku.
Dia tampak tertunduk sedih. Kemudian menatapku sambil tersenyum. “Baiklah, tapi kamu harus tunggu sampai saya kembali. Kita akan bertemu di pantai ini di sore hari,” pintanya. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Kemudian dia pergi berlalu meninggalkanku. Aku tetap berdiri terpaku sampai bayangannya menghilang.
Lima tahun berlalu, kenangan itu masih tertanam jelas di benakku. Setiap senja tiba, aku selalu berharap dia datang dengan wajah lucunya dulu. Hujan masih juga belum reda sampai petang menjelang. Aku menutup gerai tokoku. Dan bermaksud untuk pulang saja.
Setiap senja di pantai ini telah menyimpan kenangan manis dan janji kami dulu. Tak lelah pula aku berharap. Walaupun perlahan kini aku sadari, dia tak akan kembali. Tapi, rupanya aku masih setia menanti kedatangannya dan berharap kami bisa bersama lagi seperti dulu. Sudah seharusnya aku melupakan kisah cintaku yang telah lalu. Dan memulai mencari cinta baru dalam hidupku. Sehingga aku tak lagi mengejar bayang-bayang semu tentang dirinya lagi.

(Inspired by : Anggun - Mimpi)
Terima kasih sudah membacanya... Ditunggu komentarnya ^^

            Sekali lagi dalam hidupku aku menemukan sebuah cinta. Cinta pada pandangan pertama terhadap seorang wanita yang menjadi tetangga baruku. Dia sangat cantik, senyumnya pun juga menawan. Kudengar, malam ini keluarganya akan mengadakan syukuran kepindahan mereka. Aku pun bersikeras menggantikan posisi ayahku untuk datang di acara tersebut. Kuharap acara tersebut menjadi peluang untuk ku dekat dengannya.
            Akhirnya, malam yang kunantikan tiba. Setelah melewati acara yang membosankan berkumpul dengan orang-orang tua, aku pun meminta ijin untuk meminjam toilet di rumah tersebut. Sebenarnya sih, untuk mencari wanita yang kutemui tadi pagi. Kulihat dia sedang duduk di sofa sambil memainkan hapenya.
            “Permisi, mbak. Mau numpang ke toilet,” ucapku. Dia hanya tersenyum melihatku kemudian kembali asyik dengan hapenya. Aku semakin penasaran dibuatnya. Kenapa tanggapannya begitu datar? Aku berdiam diri cukup lama di toilet sambil memikirkan langkah dan strategi yang harus ku ambil agar aku dapat mengetahui namanya.
            Tak lama kemudian aku pun keluar dari toilet. Kulihat dia masih asyik di tempatnya tadi sambil sesekali melihat ke arah televisi. Aku pun memberanikan diri menyapanya.
            “Lho, mbak. Gak ikut ke depan?” tanyaku sambil membersihkan tangan dengan saputangan yang kubawa.
            “Males ah.” Aku terkejut mendengar pengakuan darinya. Aku hanya tersenyum mendengar jawabnya. Tapi, aku terkejut ketika dia membanting hapenya ke sofa. “Ah… Bosen,” keluhnya. Kemudian dia menarik tanganku pergi dari tempat itu. Tentu saja, aku lebih terkejut lagi.
            Aku pasrah saja dia mau membawaku kemana. Ternyata kami keluar rumah melewati pintu belakang. Kami berjalan menyusuri taman di sekitar perumahan ini. Sejenak suasana hening tanpa suara. Aku bingung mau bicara apa. Dari tadi pun dia terlihat diam dengan wajah murungnya. “Ehm, kita mau kemana sih?” tanyaku memecahkan keheningan.
            Dia terus diam. Wah, gadis yang misterius, pikirku. Tak lama dia pun mulai berbicara. “Ahh… Dari dulu tuh hidup ngebosenin banget ya?” ucapnya.
            “Bosenin gimana?”
            “Gak ada tantangan. Pengen banget nyoba hal baru. Rasanya gak keren deh, kalo ga ngelakuin hal-hal yang menantang gitu. Bener gak?” tanyanya mencoba mendapat persetujuanku.
            “Yah… bener juga sih.”
            “Hmm, akhirnya ada juga yang ngertiin. Aku Tifa. Kamu?”
            “Eh.. Ehmm.. Firman,” jawabku.
            “Oke, Fir. Aku jadi suka kamu. Jadi, pacarku yah,” pintanya.
            Mataku terbelalak kaget. “Ap, Apa? Kamu gak salah ngomong? Tadi kamu bilang, jadi pacar kamu?” tanyaku memastikan.
            “Kenapa? Gak mau? Gak suka? ”
            “Jelas mau lah, eh… maksudku, apa gak terlalu cepat?” ucapku gugup.
            “Aku suka kamu, kamu juga suka ma aku kan? Kamu ya ngerti aku. Udah, kita cocok. Simple kan?”
            Aku melongo mendengar jawaban darinya. Apa-apaan ini? Tapi, yah… mujur, aku tidak perlu susah payah sampai harus buang uang buat dapat cewek cantik sepertinya. Maklum, aku juga sudah 2 tahun melajang.
            Sudah beberapa bulan, kami menikmati masa-masa pacaran kami. Saat ini dia kuliah di jurusan informatika. Aku sendiri tengah bekerja di bagian desain sebuah perusahaan konstruksi. Bulan ini, perusahaan akan membangun sebuah pabrik di kawasan pinggiran kota. Tentu saja, aku sangat sibuk membuat desain bersama rekan satu timku. Berulang kali aku mendapat teguran karena desain yang tidak sesuai dengan permintaan atasan. Padahal, tidak biasanya aku kehilangan konsentrasi seperti ini. Kalian tahu kenapa?
            Ya… semua bermula sejak aku berhubungan dengan Tifa. Awalnya, hubungan kami baik-baik saja. Tapi, semakin lama Tifa semakin sulit diterka. Tanpa sepengetahuanku hampir setiap malam, dia pergi sendirian menuju bar di kota. Aku tak pernah tahu, sampai aku mengetahuinya dari rekan kerjaku, Shinta, yang kekasihnya bekerja disana. Sampai suatu malam, aku bertekad membuktikan semua perkataan Shinta. Ternyata apa yang kutakutkan selama ini benar. Di bar tempat kekasih Shinta bekerja, aku melihat Tifa sedang duduk menyendiri di sudut ruangan dengan sebotol bir. Disana Tifa terlihat sedang menikmati sebatang rokok dan musik dari bar ini.
            Aku terkejut bukan main melihat Tifa seperti itu. Hampir saja aku tidak mengenalnya. Berulang kali aku mengedipkan mata memperhatikan wanita itu. Langsung saja, aku menghampirinya, “Tifa…?”
            Dia terlihat mendongak dan terkejut melihat kedatanganku. Spontan dia langsung mematikan rokoknya dan mengambil tas yang ada disampingnya. Dia segera melangkah keluar. Aku berusaha mengejarnya.
            “Tifa, tunggu…” ujarku.
            “Mau apa sih? Mata-matain aku?” tanyanya kesal.
            “Kamu ngapain disana?” tanyaku balik. Dia terlihat bingung mau menjawab apa. Kulihat pakaiannya begitu minim. Aku melepas jaketku untuk kupakaikan kepadanya. Tapi, dia menepisku. “Mau kamu apa sih?” ucapku emosi.
            “Kamu tuh udah buat aku bad mood tau gak. Ngapain juga kamu datang? Ganggu kesenangan orang aja,” jawabnya ketus.
            “Ganggu kesenangan orang? Kayak gitu kamu bilang senang? Kamu mau ngerusak diri kamu sendiri apa?”
            “Eh… dengerin ya. Ini hidup aku. Mau rusak, mau ancur, itu urusanku. Ngapain juga kamu ikut campur!” Aku tak percaya dengan apa yang kudengar. Sementara dia sudah memanggil taksi untuk pulang kerumahnya. Aku hanya diam terpaku dan membisu.
            Esok harinya, aku membuka sebuah pesan di handphone-ku. Maafin aku, kemarin aku khilaf. Aku bosen banget akhir-akhir ini. Kamu juga jarang ada waktu lagi buat aku. Aku menghela nafas panjang membaca pesan itu. Lalu, kubalas pesan itu segera, Iya, aku ngerti. Oke, doain desainku diterima ya. Ntar, aku ajak jalan-jalan deh, ya? Tak lama aku sudah menerima balasan pesan dari dia. Oke sayang. Love you.
            Aku kembali berkutat pada aktivitas harianku. Sekarang hari terakhir penyerahan desain. Sudah dua kali aku gagal, kali ini aku berdoa semoga saja berhasil. Alhasil, atasanku kali ini sangat menyukai rancangan yang kubuat. Bahkan beliau memintaku mempresentasikannya secara langsung di hadapan jajaran direksi. Betapa bahagia dan bangganya aku. Ini adalah langkahku agar bisa naik jabatan tahun ini. Aku kembali mengirim pesan pada Tifa. Desainku diterima. Makasih doanya. Jam 5 sore nanti aku jemput. See you, sayang. Aku pulang dengan perasaan bahagia yang luar biasa. Malam harinya pun Tifa juga nampak bahagia. Rasanya, kejadian kemarin tak pernah ada dalam hidupku.
            Pagi ini, aku berpakaian sangat rapi. Aku meminta doa restu kedua orang tuaku. Tak lupa aku pun berdoa agar presentasiku hari ini lancar. Jantungku berdegup kencang tak sabar melihat reaksi jajaran direksi nantinya. Aku menyiapkan file-file penting dalam map ku. Tentu saja aku juga membawa laptopku. Aku pastikan lagi segala desain dan slide yang akan aku presentasikan. Semua beres…
            Aku segera menuju ruang rapat. Aku sengaja datang 1 jam lebih cepat untuk mempersiapkan semuanya. Atasanku terlihat senang dengan persiapanku yang matang. Sampai satu hal menghancurkan itu semua. Temui aku sekarang! Aku benar-benar tidak paham apa maksud cewek ini. Aku mau presentasi, sayang. Maaf, tunggu sampai aku pulang. Tak lama kemudian, dia membalas pesanku. Aku bilang, temui aku sekarang! Aku gak mau tau kamu lagi apa. Cepet!
            Ini cewek sepertinya sudah gila, pikirku. Aku membalas pesan itu sekali lagi. Maaf, presentasiku lebih penting. Sengaja ku jawab agak ketus, agar dia tahu keadaanku. Ku matikan handphone-ku agar aku lebih konsentrasi pada presentasiku.
            Tak lama, seorang office boy memanggilku. “Ada apa ya?” tanyaku padanya. “Maaf pak, ada telepon di ruang receptionist untuk bapak.” Aku pun segera menghampiri meja receptionist.
            “Halo, dengan saya Firman, ada yang bisa saya bantu?”
            “Fir, aku butuh kamu sekarang. Bisa gak sih kamu juga ngertiin aku?” ucap orang di seberang telepon itu yang ku tahu dari suaranya adalah Tifa.
            “Ngapain kamu sampai telepon kantor begini. Ada masalah apa?”
            “Kita ketemu sekarang. Nanti aku jelasin semua. Aku butuh kamu, cepet!.”
            “Aku gak bisa. Aku lagi ada presentasi dengan atasanku. Ini satu-satunya kesempatan untuk menaikkan jabatan,”jawabku sabar.
            “Kamu kesini atau aku bunuh diri?” Aku terkejut mendengar jawaban itu. kemudian, telepon langsung terputus. Otakku langsung kacau dibuatnya. Kulihat masih ada waktu 30 menit sampai presentasi dimulai. Mungkin masih sempat.
            Aku pamit pada atasanku untuk keluar sebentar karena ada keperluan. Atasanku berpesan untuk jangan lama-lama. Beliau juga hanya memberiku waktu sekitar 15-20 menit untuk mengurusi keperluanku. Aku segera menaiki motorku untuk menemui Tifa. Kulihat dia sedang duduk di depan rumahnya sambil menangis.
            “Kenapa?” tanyaku.
            “Aku bingung. Gak tahu harus gimana…” ucapnya sambil memelukku. “Aku ketahuan.”
            Aku bingung apa yang dia maksud. “Apaan sih? Soal apa?”
            “Aku ketahuan orang tuaku kalo aku sering keluar malam. Mereka juga nemuin sebungkus rokok yang udah aku sembunyiin ditumpukan pakaian. Sekarang mereka marah. Bahkan, kalau aku ga bisa ngerubah kebiasaan burukku, aku bakal diusir. Aku gak tahu ntar mesti tinggal dimana…”
            “Haduuuh, kamu kan tinggal berhenti, itu aja! Aku juga udah bilang kan kalo kebiasaanmu tu buruk. Tentu saja, orang tuamu marah. Ga cuma orang tuamu aja, aku juga…”
            “Kamu mbela orang tuaku? Aku udah bilang kan, itu kesenanganku. Aku gak bisa ngelepasin gitu aja. Aku bisa gila kalau ngelepas itu semua.” Aku benar-benar tidak habis pikir, Tifa sangat egois mementingkan kesenangannya. Aku melihat jam di tanganku sudah pukul 10.45, sudah 20 menit berlalu sejak aku meninggalkan kantor. “Ya udah, mending renungin aja semua kebiasaanmu itu,” ujarku sambil beranjak pergi.
            Aku masih ada waktu 10 menit sampai tiba di kantor. Itupun pasti aku akan dimarahi oleh atasanku. Tapi, ternyata aku membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai di kantor. Jalanan yang ku lalui sangat macet siang itu. Tiba di kantor, aku langsung menuju ruang rapat. Aku membuka pintu ruang rapat. Tapi, tak ada seorang pun yang berada di sana. Aku langsung menemui atasanku untuk meminta maaf atas apa yang telah terjadi.
            “Semua jajaran direksi sudah terlalu lama menunggu. Mereka baru saja kembali. Kamu tahu, aku benar-benar berharap pada desainmu kali ini. Tapi, kamu sudah sangat mengecewakan,” ujar atasanku marah.
            “Maafkan saya pak…” sesalku.
            “Terserah, lebih baik cepat keluar. Kurasa, perusahaan ini sudah tidak cocok denganmu. Tunggu saja uang pesangonmu nanti.” Aku sangat terkejut mendengar perkataan beliau. “Tapi pak…” Atasanku terlihat sudah sibuk dengan telepon yang baru masuk. Dengan isyarat tangannya, beliau kembali menyuruhku keluar.
Seandainya aku lebih tahu mana yang lebih penting bagi hidupku, mungkin kejadiannya tak akan seperti ini. Aku kecewa, hidupku benar-benar hancur saat itu. Perasaanku pada Tifa berubah seketika. Pada awalnya, aku suka padanya. Tapi, lambat laun, aku kasihan padanya. Aku memang memaksakan diri untuk terus menyayanginya dibalik sisi lain dari seorang Tifa.
Aku bertekad setelah aku menerima surat pemecatan dari kantorku, aku bermaksud untuk mengabdi di kota orang. Ayahku merekomendasikan ke pulau Sumatra di salah satu perusahaan temannya. Aku meninggalkan kotaku dan Tifa. Aku sudah tak ingin lagi memaksakan hatiku untuknya. Sungguh, perasaanku sakit sendiri ketika harus memaksakan diriku untuk menyayanginya. Sebuah surat mungkin adalah satu-satunya cara mengakui perasaanku padanya.
Tifa… kuharap kamu tidak bersedih dengan semua keputusan yang telah aku ambil. Semua ini juga demi kebaikanmu. Maaf… hanya itu yang bisa kukatakan. Tifa… saat pertama kali kita bertemu, aku memang menyukaimu. Tapi, mungkin itu hanya sebatas rasa suka ku padamu. Aku juga baru tahu, kamu tidak suka jika kesenanganmu diganggu. Aku hanya berpesan, buang jauh-jauh kebiasaan yang kamu anggap kesenangan itu. Semua itu akan menghancurkanmu kelak. Tifa… maaf, jika aku harus mengakhiri hubungan ini. Kini, yang ada hanya aku dengan hidupku dan kamu dengan kehidupanmu. Tak ada lagi yang melarangmu. Lupakan aku, lupakan aku yang selalu ada di sisimu. Lupakan semua yang telah ku beri untukmu. Lupakan aku, yang terkadang membuatmu sedih. Jika nanti kita dipertemukan, kuharap kita bisa bersama lagi sebagai teman. Terima kasih, dan selamat tinggal…

(Inspired by Kotak ~ Pelan Pelan Saja)

Terima kasih telah membaca ~ Ditunggu komentarnya... ^^

            Pernahkah anda merasakan waktu semakin cepat berputar dan kini yang bisa anda lakukan hanya duduk di atas kursi goyang menikmati masa tua? Sudah 65 tahun aku menghirup udara di dunia ini. Tentu saja aku pun pernah muda. Dulu aku adalah seorang pilot maskapai penerbangan ternama. Aku biasa dipanggil Indra. Tubuhku gagah, wajahkupun tampan. Di usiaku yang ke 27, aku melamar seorang gadis yang sudah lama aku kenal sejak bangku perkuliahan, namanya Ayu. Kami dikaruniai 2 anak. Hidup kami sangat bahagia. Sampai kusadari, apa yang aku lakukan selama ini telah menghancurkan kebahagiaan itu.
            Bermula ketika aku pulang dari Balikpapan. Seperti biasa, kedua anakku menyambut dengan riang. Kupikir, segala sesuatunya baik-baik saja. Sampai, kulihat tatapan istriku mulai berbeda kepadaku.
            “Kenapa sayang, apa kamu sakit? Dari tadi kuperhatikan, wajahmu selalu murung,” ucapku khawatir.
            Ayu terlihat terkejut mendengar perkataanku. Dia hanya tersenyum memandangku serta menggelengkan kepalanya. Aku curiga, senyum itu terlihat dipaksakan. Aku mendekatinya. Kecurigaanku semakin kuat ketika dia spontan menepis tanganku sewaktu aku menyentuh pundaknya. Kulihat matanya berkaca-kaca, dia menangis.
            “…, apa yang terjadi? Ada yang tidak beres?” tanyaku lagi.
            Ayu tak sanggup lagi menahan air matanya. Dengan perlahan dia menuntun anak-anak masuk ke dalam kamarnya. Kuhampiri dia sekali lagi. Nampaklah sekarang wajahnya terlihat emosi kepadaku. Aku tahu aku pasti sudah melakukan kesalahan. Tapi, apa salahku?
            “Sayang…”
            “Maukah kamu jujur padaku?” tanyanya tiba-tiba.
            “Tentu saja aku selalu jujur padamu. Kenapa kau mencurigaiku begitu?”
            “Aku tak tahu apa yang kau lakukan di luar sana. Tapi, kudengar kau menjalin hubungan dengan pramugari di tempatmu kerja?”
            “Darimana kamu dapat berita seperti itu? Tentu saja tidak benar,” ucapku sambil berlalu.
            “Tidak ada maling yang mau ngaku.”
            Aku terkejut mendengar ucapan Ayu yang tak pernah kukira itu. Selama ini, dia tak pernah berkata sekasar itu kepadaku. Karena keletihanku, emosiku memuncak mendengar kalimat itu. Tanpa sadar, tangan ini sudah mendarat di pipinya. Ayu pun juga terkejut menerima tamparan itu dariku.
            “Bagaimana bisa kamu mencurigaiku seperti itu?” sesalku.
            “Maaf. Selama ini aku hanya bisa memendam emosiku yang selalu kacau. Aku sudah sangat sabar selama ini. Sebagai wanita, menjaga rumah ini sendiri di kala malam. Apa kamu pernah tahu? Aku selalu ketakutan di malam hari. Saat anak-anak membutuhkan sosok seorang ayah yang akan selalu membimbingnya, kamu tak pernah ada. Aku tak bisa menjadi seorang ibu sekaligus seorang ayah di dalam rumah tangga. Sementara kau masih ada dan hidup di dunia ini.”
            Aku terdiam. Ayu pergi menuju kamarnya. Dia mengambil beberapa lembar foto dalam sebuah amplop. “Lihat, kau terlihat bahagia sekali hidup di lingkungan kerjamu. Sedangkan apa yang kau lakukan ketika kau pulang ke rumah? Anak-anakmu tetap saja tak kau hiraukan. Kau sibuk bercerita tentang betapa hebatnya profesimu. Aku ingin tanya satu hal padamu. Berapa kali kau mengajak kami keluar hanya untuk sekedar berkumpul bersama? Aku letih akan semua ini!” lanjut Ayu.
            Aku semakin terpojok dengan keadaan ini. Baru kusadari, perhatianku terhadap keluarga makin berkurang. Ayu melangkah menjauh menuju kamar. Aku tetap terpaku mengingat apa yang telah aku lakukan selama ini. Aku menyesal telah menyakiti hati istriku bahkan bisa dibilang menelantarkan keluargaku. Aku menghembuskan nafas panjang. Aku melangkah perlahan mengikuti langkah istriku sampai pada akhirnya aku menemukan banyak bercak darah dan tubuh Ayu yang tergeletak di lantai.
            Segera aku membawa Ayu ke rumah sakit. Sementara kedua anakku berada di rumah bersama pembantu rumah tanggaku. Tapi sayangnya sesampainya di rumah sakit, istriku telah tiada. Aku semakin menyesali perbuatanku. Aku tidak menyangka, istriku menderita penyakit jantung kronis selama 3 tahun terakhir. Betapa buruknya aku sebagai seorang suami yang bahkan tidak mengetahui kondisi istrinya.
            Setelah kepergian Ayu, aku membuat surat pengunduran diri di tempat kerjaku. Dan bertekad untuk lebih memperhatikan keluargaku. Aku meneruskan toko milik ayahku. Walau penghasilan tak seberapa, namun kasih sayang pada keluarga lebih aku utamakan. Sampai saat ini pun, aku masih mengenang mendiang Ayu. Dia meninggalkan aku tanpa aku sempat meminta maaf darinya. Andai saja, aku bisa memutar waktu, mungkin akan kuperbaiki semua dari awal. Keceriaan, kebaikan, dan kesabaran Ayu mencerminkan sosok wanita yang kuat. Bayangan-bayangan ketika kami kenal sampai mempunyai anak tergambar bagaikan slide-slide yang terus berputar di otakku.
            Kini semua itu, tinggal kenangan yang tertanam jelas di hatiku. Aku sungguh merindukannya. Biarlah kusimpan cinta ini sampai nanti aku berada disana bersamamu. Maafkan aku, Ayu…

(Inspired from Kerispatih - Mengenangmu)