Terlalu banyak kehidupan indah yang membayangi kita. Terkadang kita lupa, saat merasa sehat, saat merasa mampu, bahkan saat kita bahagia, kita akan melewati saat dimana kita sakit, kita lemah, kita sedih, bahkan suatu saat nanti kita akan menemui ajalnya. Namaku Mahmud, aku telah melalui masa muda yang penuh kebahagiaan. Berteman dengan banyak orang, melewati hari-hari dengan nyaman.
Kini, usiaku sudah menginjak 32. Usia yang sudah tak lazim lagi memikirkan kesenangan diri sendiri. Aku pun sudah berkeluarga, istriku bernama Sriani. Kami sudah 5 tahun menjalani kehidupan berkeluarga. Namun, kebahagiaan kami tak cukup lengkap karena kami masih belum juga dikaruniai anak.
Setelah sekian lama menanti buah hati yang akan menemani kehidupan kami, akhirnya impian kami datang juga. Istriku mengandung bayi pertama kami. Rasanya tidak ada hal yang membahagiakan selain mendengar hal itu. Sebenarnya kehidupan kami ini jauh dari berkecukupan tapi penuh dengan keharmonisan dan rasa syukur. Aku hanya seorang tukang becak sedangkan istriku penjual jajanan yang biasa dititipkan ke warung.
Sudah lima bulan istriku mengandung, aku bekerja keras mencari uang. Setiap pagi sampai menjelang sore aku mencari uang dengan mencari penumpang. Di sore harinya aku membantu di bengkel kecil milik saudaraku. Kemudian malam harinya, aku menjaga istriku di rumah. Terkadang aku mendapat tawaran dari kawan-kawanku untuk bekerja sebagai kuli bangunan borongan.
Sebenarnya banyak bantuan dari sanak saudara untuk kelahiran anak pertamaku nanti. Tapi, aku menolaknya. Aku takut suatu saat nanti aku tidak bisa membalas kebaikan mereka. Selagi aku masih kuat dan mampu untuk menghidupi keluargaku, aku akan bekerja sekeras mungkin mencari nafkah.
Malam itu, ketika aku baru saja pulang dari bengkel, aku melihat istriku telah tidur terlelap. Aku bersyukur dia baik-baik saja. Rencananya aku akan mengantarkan istriku ke puskesmas untuk melakukan pemeriksaan rutin besok. Aku pun menghitung uang tabunganku. Aku bersyukur uang tabungan sudah hampir mencapai 5 juta. Aku pun segera menyimpan uangku kembali dan pergi tidur.
Keesokan harinya, entah kenapa badanku terasa lemas. Kulihat istriku sudah bersiap untuk pergi. Dia membangunkanku perlahan. Aku masih terduduk di tempat tidur. Kepalaku pusing tak karuan. Padahal semalam aku baik-baik saja.
“Pak, sudah aku siapin teh. Kelihatannya kok kurang sehat gitu?” tanya Sriani khawatir.
“Makasih, bu. Aku Cuma kecapekan saja. Tunggu sebentar, aku akan segera bersiap.”
Aku segera bersiap-siap dan mengantar istriku ke puskesmas. Dengan becak kesayanganku, aku perlahan dan sangat hati-hati mengantarkannya. Tapi, kepalaku benar-benar sangat pening hari itu. Beberapa saat pandangan mataku terlihat kabur. Sampai teriakan istriku menyadarkanku. Sebuah mobil dari arah berlawanan mengemudi dengan sangat kencang. Dalam hitungan detik mobil itu menyerempet becakku yang berusaha kuhindari. Istriku terjatuh dan mengaduh kesakitan. Sedangkan aku tak sadarkan diri jatuh terpental setelah ditabrak mobil itu. Beberapa orang yang melihat kejadian tersebut segera menolong kami dan melarikan kami ke rumah sakit terdekat.
Sekitar 7 jam aku tak sadarkan diri, ketika tersadar terlihat saudaraku, Muhlish berada di sebelahku. Aku ingat, terakhir kali aku sedang mengantar istriku ke puskesmas sampai aku mengalami kecelakaan itu. Aku langsung bertanya pada saudaraku tentang keberadaan istriku. Ternyata istriku tengah dirawat di ruang ICU. Aku bergegas untuk menemuinya ditemani oleh saudaraku. Dalam perjalanan menuju kamar istriku, aku bertemu dengan dokter yang merawatnya. Kami berbincang beberapa saat.
“Keadaan istri anda cukup memprihatinkan, kehilangan banyak darah. Istri anda memang tidak mengalami keguguran. Tapi, dengan keadaannya yang seperti itu, kecil kemungkinan istri dan anak anda selamat. Kecuali, jika ada cukup banyak darah untuk didonorkan pada istri anda,” terang dokter.
“Golongan darah kami sama, dok. Dokter bisa mengambil darah milik saya,” ucapku kemudian. Dokter tersebut menggelengkan kepalanya. “Maaf pak, kondisi bapak sendiri tidak memungkinkan. Bapak juga sudah kehilangan darah yang cukup banyak. Jika harus kehilangan lagi, saya rasa nyawa bapak bisa terancam,” ucap dokter mencegahku.
Aku menunduk sedih. Muhlish nampak ingin membantuku untuk mencarikan golongan darah yang sama dengan istriku. Kulihat, dia segera pergi untuk mencarikan darah di posko PMI terdekat. Aku kembali untuk melihat keadaan istriku. Tak terasa air mataku ini mengalir. Padahal kami sangat menantikan kehadiran anak pertama kami untuk menemani masa-masa tua kelak. Aku tak kuasa melihat kondisi istriku yang tergeletak lemah dengan sebuah selang menyumbat hidungnya.
Aku pergi ke mushola terdekat untuk melakukan sholat maghrib. Seusai beribadah, aku berdoa pada Allah SWT. “Ya Allah, selamatkanlah istri dan buah hati hamba. Hamba tahu hamba hanyalah manusia lemah. Jagalah dia selayaknya Engkau menjaga hamba-Mu yang Kau cintai. Ya Allah, hamba tak kuasa jika harus kehilangan mereka. Hamba rela melakukan apapun untuk dapat menyelamatkan mereka. Ya Allah, sekali lagi kumohon, selamatkan istri dan anakku…” aku menangis, bersujud memohon keselamatan kedua orang yang aku sayangi. Cukup lama aku bersujud, sampai aku bertekad menyumbangkan darahku untuk istriku.
Aku sadar, mungkin ini adalah hari terakhirku bisa bertemu dengan istriku. Aku menemuinya mungkin untuk terakhir kalinya. “Istriku sayang… Maafkan aku jika selama ini pernah berbuat salah dan tak bisa menjalani peran suami yang baik. Maafkan aku jika nantinya aku tak bisa lagi menjagamu… menjaga anak kita. Teruslah berjuang demi keselamatan buah hati kita. Berjanjilah padaku satu hal, kamu akan menjaga dan menyayanginya menggantikan aku jika nanti aku telah dipanggil terlebih dahulu oleh Yang maha Kuasa. Aku sangat menyayangimu… kau adalah anugrah yang paling indah yang pernah ada dalam hidupku. Kau harus tahu, hati dan cinta ini akan selalu menemani dan menyayangimu,” ucapku. Aku memeluk tubuh istriku dan mengecup keningnya untuk terakhir kali. Kemudian segera pergi menemui dokter untuk mendonorkan darahku untuk istriku. Sebelum itu, aku berpesan pada Muhlish, untuk menyampaikan rasa sayangku pada istriku jika terjadi hal buruk padaku.
Satu minggu berlalu, terlihat Sriani sudah sadar dari tidur panjangnya. Keadaan Sriani berangsur-angsur membaik begitu juga kandungannya. Muhlish tampak menghampiri Sriani yang masih terbujur di tempat tidur. Sriani menyambut Muhlish dengan senyuman.
“Masuk Lis…” ucapnya.
“Bagaimana kabarnya mbak? Maaf baru bisa menjenguk.”
“Alhamdulillah, aku sudah bisa sadar. Katanya sudah sekitar 5 hari aku tidak sadar. Barusan darimana? Kok pakai pakaian hitam? Ada yang meninggal?” tanyanya. Muhlish terdiam. “Oh ya, dimana Mas Mahmud? Apa dia pergi kerja? Bagaimana keadaannya?”
“Maaf mbak, aku ga ngomong sebelumnya sama mbak. Sebenarnya mbak, aku baru saja memakamkan almarhum Mas Mahamud mbak,” ucap Muhlish tak tega.
Air mata terlihat berlinang di pipi Sriani. Dia menangis mendengar kabar itu. Dia tak menyangka hari itu, adalah hari terakhirnya bertemu Mahmud. “Mas Mahmud berpesan bahwa dia sangat menyayangi, mbak. Dia ingin mbak membesarkan anak mbak. Mas Mahmud meninggal karena terlalu banyak mendonorkan darah buat mbak. Karena kalo tidak, mbak dan bayi mbak bisa meninggal. Makanya mas Mahmud… sampai… mengorbankan nyawanya. Padahal aku masih berusaha mencarikan darah buat mbak. Mas Mahmud… keburu-buru nyumbang darahnya. Takut terlambat…” Muhlish nampak menangis menceritakan apa yang terjadi.
Hanya terdengar isak tangis dari Sriani. “Mbak, ikhlasin mas Mahmud ya mbak. Semua ini demi mbak…” ucap Muhlish.
Sriani mengangguk dan bertekad akan menepati janji suaminya untuk menjaga buah hati mereka. Walaupun suaminya tak lagi ada di sampingnya, dia dapat merasakan betapa suaminya mencintai dia dan anaknya lewat aliran darahnya kini.
(Inspired by : Wali – Doaku Untukmu Sayang)

0 komentar: