Hidup itu tidak semudah yang dibayangkan. Terkadang kita harus berjuang keras mendapatkan apa yang kita inginkan. Tak jarang perjuangan yang dilakukan tidaklah membuahkan hasil seperti apa yang diinginkan. Seperti saat ini, aku berjuang membantu ibuku dalam menghidupi keluarga dengan mengumpulkan uang dari hasil penjualan barang-barang bekas yang kudapat dari tetanggaku. Namun, pekerjaanku ini tidak semata-mata seperti pemulung yang menyusuri jalanan bahkan tempat sampah hanya untuk mendapatkan satu atau dua buah kaleng bekas. Aku hanya memberikan nomor teleponku kepada tetangga dan orang yang aku kenal sekiranya mereka memerlukan bantuan untuk menjualkan barang bekas mereka kepada pengumpul. Jadi, aku tak perlu susah payah berkeliaran di kota untuk mencari barang bekas yang bisa kujual.
            Hari itu, aku mendapat cukup banyak barang bekas dari tetanggaku yang hendak pindah rumah. Barang bekas yang akan mereka buang cukup banyak, sehingga membuatku meminjam pick up milik temanku untuk mengangkut barang-barang tersebut.
            “Baiklah, pak. Apakah ada yang bisa saya bawa lagi?” tanyaku pada pemilik rumah itu.
            “Ehm… apa ya? Sepertinya sudah cukup. Nanti jika perlu bantuanmu, saya hubungi lagi,” ujar bapak itu sembari mengeluarkan beberapa lembar lima puluh ribuan. Aku tersenyum melihatnya. Tapi dugaanku keliru, ternyata uang itu diberikan kepada pengangkut yang mengangkutkan barang-barang ke rumah yang baru. Aku menghembuskan nafas panjang. Tapi, ya sudahlah… bukan rejekiku.
            “Oh ya, pak. Untuk hasil penjualan barang-barang bekas ini, apakah perlu saya antarkan ke rumah bapak yang baru atau di rumah ini saja?” tanyaku kemudian.
            “Oh, tidak perlu. Kamu ambil saja semua. Buat uang saku sekolah kamu.” Mataku berbinar-binar mendengar jawaban itu. Alhamdulillah… hasil penjualannya tentu banyak sekali. Bahkan bisa untuk hidup 6 bulan. Maklum biaya hidup keluargaku tiap bulan tergolong cukup minim. Aku pun pamit pada pemilik rumah, tak lupa aku mengucapkan banyak terima kasih pada beliau.
            “Hoy, Mat! Ayo berangkat! Keburu sore nih,” sahut temanku ketika melihatku keluar.
            “Iya… iya sabar dulu kenapa sih. Hehe… thanks ya, Dit,” ujarku sambil cengar cengir kesenangan.
            “Ngapain cengengesan? Gak tau apa disini panas. Kamu sih enak Mat, di dalem ada AC. Ya udah, yuk buruan!”
            Yah, beginilah hidupku. Namaku Rahmat, aku memasuki tingkat 3 di bangku Sekolah Menengah Atas di salah satu sekolah favorit di Jakarta. Ayahku seorang perantauan yang entah bagaimana kabarnya sekarang. Sementara ibuku hanya seorang penjual gorengan, yang kondisinya semakin memburuk dari hari ke hari. Aku juga punya seorang adik yang masih berumur 4 tahun. Aku hidup di balik perumahan orang kaya. Ada sekitar 5 rumah yang masih bertahan di samping pembangunan perumahan tersebut. Dua diantaranya adalah penduduk asli daerah ini, dan bermatapencaharian sebagai petani. Sedangkan yang lain hanya seorang pedagang keliling seperti ibuku. Di samping tempat kami tinggal terdapat jalan tol. Tapi tak ada satu jalan pun yang menghubungkan tempat kami menuju jalan tol tersebut. Tentu saja…
            Malam itu, aku bisa bernafas lega melihat penghasilanku hari ini. Dengan uang ini, aku bisa membawa ibuku ke dokter untuk memeriksakan kesehatan secepatnya. Aku menyisihkan sebagian uang ini dalam kotak kaleng kecil buatanku sendiri. Sebagian lagi akan aku gunakan untuk hidup sehari-hari.
            “Rahmat…” panggil ibuku perlahan.
            “Iya bu,” jawabku sambil cepat-cepat menyimpan kembali kotak tabunganku.
            Disertai suara batuk yang semakin berat, ibu menghampiriku. Tubuhnya semakin hari semakin kurus, rautan di wajahnya semakin nampak, begitu pula uban yang semakin bertambah di usianya yang semakin tua. Aku menghampiri ibuku yang berdiri di depan pintu kamarku.
            “Kamu darimana saja? Pulang selalu sampai larut malam. Lihat bajumu, kotor semua,” tanya ibuku khawatir sambil membersihkan kotoran di lengan bajuku.
            “Ahh… hari ini aku menemani temanku belajar bersama. Mereka memintaku mengajari beberapa pelajaran yang aku kuasai,” jawabku bohong. Ibuku terlihat lega mendengar jawabanku. Kemudian beliau duduk di kursi ruang tamu sambil menyalakan televisi. Aku memang sengaja berbohong, agar ibu tidak terlalu khawatir akan pekerjaan yang aku lakukan.
            “Rahmat, tahun depan kamu akan lulus sekolah. Maafkan ibu, tidak bisa membiayaimu sampai kuliah. Sebentar lagi adikmu pun juga harus sekolah. Ibu tidak tahu lagi harus mencari penghasilan hidup darimana. Ibu harap setelah lulus nanti, kamu bisa membantu ibu. Yah… ibu hanya bisa mendoakan agar kamu sukses kelak.”
            Aku melihat adikku yang telah tertidur pulas disamping mainannya. Kugendong dia ke kamar. Aku kasihan melihat adikku hanya mengenakan pakaian bekas milikku dulu. Ingin rasanya aku membelikannya satu atau dua buah baju baru. Mungkin aku bisa membelikannya besok, agar adikku senang. Kemudian kuhampiri ibu dengan segelas air teh.  “Ibu, tidak usah khawatir. Ketika aku lulus, ibu istirahat saja. Semua biaya hidup biar aku yang tanggung. Doakan saja anakmu ini, bu.”

            Esok harinya, aku telah siap dengan tas sekolah yang sudah berkali-kali aku jahit dan sepertinya akan sobek lagi. Mungkin sudah saatnya aku ganti. Aku menyiapkan sarapan pagi untuk adikku. Pagi itu, ibuku tak kunjung bangun. Kulihat beliau juga belum menyiapkan dagangannya. Apa ibu mau libur hari ini? Kemudian aku berniat membangunkannya untuk pamit berangkat ke sekolah. Terlihat temanku Adit juga sudah menjemputku di depan rumah.
            Aku mengelus pundak ibuku sampai aku menggoyang-goyangkan tubuhnya, tapi ibuku tak kunjung bangun. Aku kebingungan. Wajah ibu terlihat pucat dan tubuhnya lemas terkulai. Aku memanggil Adit untuk meminta bantuan. Segera saja Adit menelpon dokter umum yang sudah lama dia kenal untuk segera kerumahku. Sementara dia tetap berangkat ke sekolah “Aku ke sekolah dulu deh, sekalian ijinin kamu ke guru karena ibumu sakit. Mending kamu tunggu disini aja.”
            “Makasih ya, Dit,” ucapku sambil mengantarkan kepergiannya. Aku kembali masuk ke rumah melihat kondisi ibuku. Keadaan semakin kacau, ketika adikku tiba-tiba menangis melihat ibuku tak kunjung bangun. Untung saja dokter segera tiba, dokter tersebut langsung memeriksa kondisi ibuku.
            “Hmm.. tampaknya harus segera dibawa ke Rumah Sakit terdekat. Kondisinya cukup mengkhawatirkan.” kata dokter seraya melepas stetoskopnya. “Berhubung saya membawa mobil dan sekalian praktek di Rumah Sakit, akan lebih baik bila ibumu bersama saya,” cetusnya sambil mencoba menenangkan.
            “Baiklah dok, saya mohon lakukan yang terbaik untuk ibu saya dokter. Saya bersiap-siap dulu, dok.”
            Kemudian kami berangkat bersama menuju rumah sakit tempat dokter tersebut dinas. Tak lupa aku mengajak adikku. Aku berusaha menenangkan adikku yang menangis tak kunjung henti. “Sttt, dik. Jangan nangis terus, donk. Ntar, kalo adik nangis terus, ibu nggak mau bangun,” ucapku menenangkan adikku. Perlahan adikku menghentikan tangisnya. “Ibu sakit apa?” tanyanya. Aku hanya menggelengkan kepala menjawab pertanyaan adikku.
           
            Setelah 15 menit melakukan pemeriksaan, akhirnya dokter memberitahu  bahwa ibuku hanya kecapaian namun dokter tak sengaja menemukan benjolan di perut ibuku yang di deteksi adalah tumor. Jika terlalu lama berada dalam tubuh ibu, bisa jadi tumor tersebut akan berkembang menjadi kanker yang akan merenggut nyawa ibuku. Ditambah kondisi tubuh ibu yang sudah payah. Jika tak segera dilakukan operasi pengambilan tumor, mungkin ibu akan semakin kesulitan dengan kondisi tubuhnya melakukan operasi. Biaya operasi awal diperkirakan mencapai 5 juta. Aku perkirakan uang tabunganku tidak lebih dari 4 juta, darimana aku mencari sisanya.
            Aku pulang ke rumah untuk segera mengambil uang tabunganku. Ibuku sudah sadar ketika aku tinggal pulang. Sehingga adikku menemani ibu di rumah sakit. Aku membuka kotak tabungan dan menghitung. Jumlahnya sekitar 3.425.000, sementara di dompetku sendiri masih ada 600.000 sisa dari hasil penjualan barang bekas kemarin.
            Segera saja aku bawa uang tersebut untuk membayar uang muka operasi. Tapi, nasibku hari ini rupanya tak seberuntung kemarin. Aku melihat seorang bapak tergeletak jatuh setelah beberapa saat yang lalu berlari mendahuluiku. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Bapak itu terlihat kesakitan memegangi dadanya. Apa ini? Jangan-jangan serangan jantung? Aku menoleh kesana kemari, tak ada satupun orang berlalu. Tubuh bapak ini tak begitu besar. Sedikit lagi juga bakal sampai ke rumah sakit. Mungkin lebih baik kubopong saja ke rumah sakit.
            Ternyata tak seringan yang kukira. Berat bapak ini berhasil menguras setengah tenagaku. Tapi, tidak mungkin bapak ini kutinggal tergeletak di pinggir jalan. Tak berapa lama, gerbang rumah sakit pun terlihat. Beberapa orang yang melihatku terengah langsung datang menolongku. Aku mengantarkan bapak ini sampai ke ruang UGD, kebetulan ruangan tersebut tak jauh dari ruang inap ibu. Aku menengok ibu yang tersenyum melihat kedatanganku. “Bagaimana keadaannya bu?”
“Alhamdulillah, sudah lumayan baik. Tadi dokter bilang apa saja ke kamu?” tanya ibu khawatir.
“Cuma kecapaian kok, bu. Sekarang, ibu istirahat saja disini. Sampai benar-benar pulih, jangan mengerjakan hal-hal yang berat dulu. Adik juga, jangan nakal ya,” ujarku sambil menggendong adikku.
“Rahmat, dari dulu kamu selalu seperti ini. Mementingkan kepentingan orang lain daripada dirimu sendiri. Ibu sangat bangga nak. Ibu hanya berpesan, tetaplah seperti itu, walau bagaimanapun juga keadaanmu. Karena semuanya juga akan kembali ke dirimu sendiri. Tidak akan sia-sia segala hal yang kamu lakukan untuk orang lain. Ingat-ingatlah itu.”
 Aku hanya tersenyum mendengarnya. Kemudian aku pamit untuk mencari dokter yang menangani ibuku untuk berkonsultasi masalah biaya. Namun, ternyata dokter tersebut sedang menangani pasien lain. Terpaksa aku menunggunya sambil melihat kondisi bapak yang kutolong tadi. Perawat yang menangani bapak tersebut terlihat menghampiriku. Kemudian aku diajak masuk ke ruangan dokter di dekat ruang UGD. Aku bingung apa yang harus aku lakukan, karena kenal dengan bapak ini saja pun tidak. Aku duduk berhadapan dengan dokter yang tampak terlihat tegang tersebut.
            “Permisi, ada apa ya dok?” tanyaku membuka pembicaraan.
            “Begini, nak. Bapak tersebut harus segera dioperasi. Untuk lebih jelas tentang kesehatan jantungnya, nanti saja saya jelaskan. Saya hanya perlu tandatangan kamu untuk menyetujui jalannya operasi ini. Untuk masalah biaya juga saya harap kamu memiliki uang sekitar 3 juta untuk uang muka biaya operasi ini,” jelas dokter tersebut. Penjelasan tersebut benar-benar tidak masuk ke dalam otakku. Rasanya kacau sekali. “Emh, tapi dok… saya ini…” ujarku bermaksud menjelaskan.
            “Tolong segera ditandatangani. Kalau tidak, kami tidak bisa berbuat lebih untuk menyelamatkan nyawanya.”
            Dengan terpaksa aku menandatangani surat kesediaan tersebut. Aku juga membayarkan uang 3 juta ku untuk orang yang tak kukenal. Namun aku teringat pesan ibuku, apa yang aku lakukan untuk orang lain tak akan sia-sia. Akhirnya, aku mengikhlaskan uang tersebut. Dan uang yang berada di tanganku tinggal 1 juta rupiah. Mungkin aku akan bernegosiasi dengan dokter yang menangani ibuku, agar aku bisa mengangsurnya secara bertahap. Ahh… memangnya kredit motor apa? Aku semakin bertambah pusing saja hari itu.
           
Sudah 3 hari ibuku tinggal di rumah sakit. Dan aku juga tidak masuk sekolah. Hari itu, bagaimanapun caranya, pihak rumah sakit memaksaku untuk membayar biaya rumah sakit. Aku pun menyempatkan makan pagi dulu di sebuah warung pinggir jalan. Sudah sejak kemarin aku tidak mengisi perut sama sekali. Aku pun memesan semangkok soto ayam dan segelas teh pada penjualnya. Kulihat beberapa pembeli juga sedang menikmati soto dan secangkir kopi di warung tersebut. Aku pun juga melihat seorang pemuda memakai jas juga duduk disampingku. Ahh… elit sekali, pikirku. Tapi, aku salut padanya, walaupun dia memakai jas, tapi tak malu untuk duduk bersama di warung rakyat kecil begini.
            Usai aku mengisi perutku yang keroncongan, aku kembali ke rumah sakit. Aku melihat Adit sudah berada di depan rumah sakit. Kusapa dia, “Dit, lho, kok ada di sini? Bolos ya kamu?”
            “Dasar, sejak kapan hari Minggu ada siswa yang sekolah?” jawabnya kecut. Aku menepuk kepalaku. Ah… betapa bodohnya aku sampai aku lupa hari begini. “Hahaha, sorry… temen kamu jadi agak bego begini. Ya udah, mau jenguk ibuku kan? Yuk…” ajakku.
            “Oh ya, Mat. Dari tadi tu perawat ngeliatin kamu terus lho. Naksir kali,” ujar Adit sembari jalan. Aku menoleh kanan dan kiri, namun tak menemukan perawat yang dimaksud Adit. Aku hanya menggelengkan kepalaku.
           
            Sesampainya di kamar ibuku, aku minta tolong Adit untuk menemaninya sebentar. Sementara aku akan membayar biaya rumah sakit. Aku menemui bagian administrasi rumah sakit untuk mencari tahu berapa besar biaya rumah sakit untuk ibuku. “Semuanya… dua juta dua ratus sepuluh ribu.” Alamak, uangku kurang lagi.
            “Ehm… mbak. Kalau saya angsur sembilan ratus ribu dulu gak apa-apa ya?” tanyaku kepada perawat itu. Tentu saja sambil kulontarkan senyum termanisku di depannya. Kata Adit, senyumku ini bisa meluluhkan hati para cewek di kelasku.
            Perawat itu tampak kaget, kupikir senyumku sudah nggak mempan lagi. “Maksudnya mas? Baru saja pembayaran dilakukan atas pasien dengan nama Sriyani. Semuanya sudah lunas kok.”
            Sekarang gantian aku yang kaget. “Hah, lunas? Lunas darimana mbak? Orang dari kemarin uangnya masih saya pegang. Salah orang kali. Jangan main-main lho, mbak. Saya lagi serius nih, nggak pengen bercanda.”
            Perawat itu terlihat sebal, kemudian mulai mencari tumpukan nota dan kwitansi di mejanya. Kemudian dia membacakan profil ibuku. Semuanya cocok. “Ini mas, tanda terimanya. Sudah puas mas? Bahkan biaya untuk operasi ibu mas juga sudah lunas. Mas sudah tidak perlu khawatir lagi dengan biaya rumah sakit. Semua sudah dibayar lunas.”
            “Serius mbak? Ehm… kalau begitu, apa mbak tau siapa yang membayar biaya rumah sakit tersebut?” tanyaku heran.
            “Ehm… disini cuman ada tandatangannya. Atas nama bapak Widjojo Soerjodiredjo.”
            “Alamatnya mbak?” tanyaku lagi.
            “Ya… mana saya tahu. Disini kan cuman ada tandatangannya aja. Lagian mas pikir, disini kantor kelurahan apa?” jawabnya judes.
            “Iya… iya mbak. Duhh… Galak amat,” ucapku sembari pergi. Terlihat perawat tersebut hanya melotot menatapku.

            Sudah setahun berlalu sejak saat itu. Akhirnya operasi yang dijalani ibuku waktu itu berjalan sukses dan kehidupan kami kembali seperti biasa. Sampai saat ini pun, aku tak pernah tahu siapa orang baik hati yang menanggung semua biaya rumah sakit kala itu. Aku hanya mengucapkan syukur pada Allah SWT atas segala sesuatu yang terjadi padaku. Hari ini pun, tak lupa aku mengucapkan syukur. Karena hari ini adalah hari pertama aku bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan ternama. Aku beruntung sekali karena dari sekian banyak pesaing, aku yang terpilih untuk bekerja di perusahaan tersebut.
            Di perusahaan tempat Rahmat bekerja, Rahmat terlihat sedang berkenalan dengan rekan kerja barunya. Dia terlihat bahagia berada di tempat itu. Dari ruangan yang tak jauh dari tempat Rahmat, terlihat seorang bapak juga tersenyum memperhatikannya.
            “Bagaimana Pak Djojo? Semua sudah sesuai dengan apa yang bapak inginkan?” ujar seorang pemuda berjas yang nampaknya menjadi asisten dari bapak tersebut.
            “Ini semua memang sudah ditakdirkan aku bertemu dengan pemuda itu setahun yang lalu. Begitu pula hari ini. Aku sungguh bersyukur telah bertemu pemuda itu di usia tuaku ini,” ujar bapak itu tersenyum.
TAMAT

0 komentar: