Deras hujan tak juga berhenti sore ini. Aku memandangi rintik hujan yang turun di langit yang terlihat kelam. Aku menutup tirai jendela dengan kesal. Mungkin hari ini aku tidak bisa menikmati pantai kuta seperti yang biasa kulakukan. Dikala hujan seperti ini, tentu saja usaha toko souvenir yang kumiliki sepi pengunjung. Sebelum tutup, biasanya aku berjalan-jalan dulu untuk menikmati tenggelamnya matahari di pantai kuta.
            Sebenarnya tidak hanya itu, suasana sore di pantai kuta ini menyimpan harapan besar yang selama ini ada di hatiku. Semua terjadi tepat lima tahun yang lalu. Saat dia datang di kehidupanku. Aku mengenalnya saat dia sedang melihat-lihat souvenir di tokoku.
            “Silahkan dilihat-lihat dulu,” ucapku.
            Dia mengambil salah satu souvenir dari kulit kerang. “Berapa?” tanyanya datar. Dari logatnya terlihat sekali kalau dia berasal dari luar negeri. Aku pun menjawabnya dengan menggunakan bahasa inggris. “Twenty thousand rupiahs.”
            “Boleh saya menawar?” tanyanya tetap dengan menggunakan bahasa Indonesia. Aku hanya mengangguk. Kemudian, dia berpikir sejenak. “Bagaimana dengan sepuluh ribu?”
            “I can’t give it. Fifteen thousand. Deal?”
            “Saya tidak mempunyai cukup uang,” jawabnya. Ahh… dia pintar sekali menawar. Lagipula, hari ini belum ada satupun yang dapat aku jual, pikirku.
            “Okey, I give up. This souvenir is yours.”
            Dia terlihat senang. Kemudian dia membayar dengan selembar uang sepuluh ribuan. Aku hanya heran, walaupun aku menjawabnya dengan bahasa inggris, tapi dia tetap memakai bahasa Indonesia.
            “Wait a minute…” ujarku sebelum dia pergi. “I want to ask you something. Why do you speak Indonesian?”
            “Semua orang datang ke negaraku dengan bahasaku. Saya datang ke negaramu dengan bahasamu. Saya mencoba menghargai.”
            “Jadi… Aku Fani. Siapa namamu? Darimana kamu berasal?” tanyaku.
            “Saya Steve. Saya dari Brisbane. Saya baru datang. Saya ingin jalan-jalan. Pantai ini indah,” ucapnya sambil memandang pantai kuta. Ditambah lagi matahari sedang terbenam, menambah indahnya suasana sore itu.
            Aku menutup gerai toko. Dia bertanya padaku, “mengapa kamu tutup toko kamu?” tanyanya.
            “Ya… memang sudah waktunya tutup. Mau kutemani jalan-jalan?” tawarku.
            “Tentu saja,” jawabnya tersenyum.
            Kami berdua berjalan menyusuri pantai. Terkadang dia mengambil beberapa kerang di pasir kemudian melemparnya ke tengah laut. “Ayo, lempar batu ini,” ucapnya. Aku pun mengambilnya dan tak segan melemparnya ke laut. Dia berteriak senang, “Yeah… saya menang. Saya lebih jauh melempar. Ayo sekali lagi,” ajaknya.
            Aku pun merasa tertantang dan memilih batu yang paling ringan kemudian melemparnya ke tengah laut bersama-sama dengannya. Kali ini, lemparanku lebih jauh darinya. “Yak, sekarang aku yang menang,” kataku.
            “Baiklah, sekali lagi. Jika saya menang, saya ingin meminta satu hal pada kamu,” ucapnya. “Kalo kamu kalah? Ganti aku yang meminta satu hal padamu,” ujarku. Kami pun sepakat. Kami berdua mencari batu yang akan kami lempar. Tak lama aku pun telah menemukannya. Dia sendiri nampak masih mencari-cari kemudian terlihat memungut sesuatu. “Saya pasti menang dengan batu ini,” ucapnya.
            Kemudian kami melempar batu itu secara bersama-sama. Rupanya kali ini dia yang menang. Aku sedikit kecewa menerimanya. Tapi, ini hanya sebuah permainan. “Baiklah saya menang. Saya akan mengatakan apa keinginan saya. Mulai sekarang, setiap sore saya ingin berjalan-jalan di pantai ini dengan kamu,” pintanya. Aku terkejut mendengar permohonannya. Kami baru saja kenal. Dia sudah mempercayai aku. Begitu pula aku, entah kenapa aku pun mempercayainya.
            Setiap sore kami melewatkan waktu bersama di pantai itu. Aku pun selalu menunggunya di tokoku. Sebelum jam 6 sore, dia selalu datang ke tokoku dengan wajah konyolnya. Aku selalu tertawa dibuatnya.
Aku juga menceritakan tentang kawan baruku itu pada adikku. Kedua orangtuaku meninggal, aku hidup bersama adikku. Aku tidak melanjutkan sekolahku ke perguruan tinggi dan memutuskan untuk bekerja saja. Toko souvenir ini pun adalah toko milik orangtuaku dulu. Setelah kepergian mereka, akulah yang mengurusnya.
Sampai suatu hari aku tidak menyangka dengan apa yang dia katakan. “Saya cinta kamu,” ucapnya di suatu senja saat aku menemaninya jalan-jalan. “Hah? Apa? Apa aku tidak salah dengar?” ucapku tersipu malu.
“Ini benar. Saya cinta kamu. Saya ingin selalu bersama kamu.” Aku tertunduk malu mendengar ucapan itu. “Apa kamu juga cinta saya?” tanyanya kemudian. Aku sengaja mengulur waktu untuk membuatnya penasaran. “Emh… Menurut kamu?” tanyaku balik sambil tersenyum.
“Menurut saya, kamu juga cinta saya,” jawabnya tanpa ragu. Haha, dasar… terus terang sekali. “Iya… aku juga mencintai kamu,” jawabku. Dia langsung memelukku sebagai tanda betapa bahagianya dia. Tubuhku sampai terangkat karenanya. Hari itu, seakan menjadi hari yang paling bahagia dalam hidupku.
Tak terasa 2 bulan berlalu sejak pertama kali kami bertemu. Sore itu, dia datang membawakan aku sebuket bunga matahari. “Kenapa bunga matahari?” tanyaku heran. Karena tidak biasanya seorang cowok memberikan bunga matahari pada kekasihnya. “Karena kamu seperti bunga matahari. Selalu bersinar dan indah,” jawabnya. Entah itu dari lubuk hatinya atau dia belajar merayu dari orang Indonesia, aku tidak tahu.
Seperti biasa, kami berjalan di tepi pantai. Hari itu, dia tidak ceria seperti biasa. Aku heran kami berjalan tanpa ada hal yang bisa kami bicarakan. “Kenapa murung?” tanyaku.
“Ahh… Saya tidak murung. Saya berpikir ingin mengajak kamu ke Brisbane,” ucapnya. Aku terkejut dengan ucapannya. Hatiku mengatakan kalau ia akan segera pergi dari hidupku. “Saya senang berada di sini. Tapi, saya harus kembali. Saya masih ingin dengan kamu. Saya tidak mau pisah dengan kamu. Saya mohon, kamu ikut ke Brisbane dengan saya,” pintanya sambil memegang kedua tanganku.
Aku pun juga tak ingin berpisah dengannya. Tapi, bagaimana nasib adikku. Aku tak mungkin meninggalkannya. Tentu saja, aku tidak boleh egois. “Maaf, Steve. Aku tidak bisa meninggalkan Indonesia,” jawabku.
“Mengapa?” tanyanya kecewa.
“Apa kau bisa memikirkan hidupku dan keluargaku di Brisbane. Tentu saja, kau akan memiliki kesibukanmu sendiri. Maaf, Steve…” ucapku.
Dia tampak tertunduk sedih. Kemudian menatapku sambil tersenyum. “Baiklah, tapi kamu harus tunggu sampai saya kembali. Kita akan bertemu di pantai ini di sore hari,” pintanya. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Kemudian dia pergi berlalu meninggalkanku. Aku tetap berdiri terpaku sampai bayangannya menghilang.
Lima tahun berlalu, kenangan itu masih tertanam jelas di benakku. Setiap senja tiba, aku selalu berharap dia datang dengan wajah lucunya dulu. Hujan masih juga belum reda sampai petang menjelang. Aku menutup gerai tokoku. Dan bermaksud untuk pulang saja.
Setiap senja di pantai ini telah menyimpan kenangan manis dan janji kami dulu. Tak lelah pula aku berharap. Walaupun perlahan kini aku sadari, dia tak akan kembali. Tapi, rupanya aku masih setia menanti kedatangannya dan berharap kami bisa bersama lagi seperti dulu. Sudah seharusnya aku melupakan kisah cintaku yang telah lalu. Dan memulai mencari cinta baru dalam hidupku. Sehingga aku tak lagi mengejar bayang-bayang semu tentang dirinya lagi.

(Inspired by : Anggun - Mimpi)
Terima kasih sudah membacanya... Ditunggu komentarnya ^^

0 komentar: