Sekali lagi dalam hidupku aku menemukan sebuah cinta. Cinta pada pandangan pertama terhadap seorang wanita yang menjadi tetangga baruku. Dia sangat cantik, senyumnya pun juga menawan. Kudengar, malam ini keluarganya akan mengadakan syukuran kepindahan mereka. Aku pun bersikeras menggantikan posisi ayahku untuk datang di acara tersebut. Kuharap acara tersebut menjadi peluang untuk ku dekat dengannya.
            Akhirnya, malam yang kunantikan tiba. Setelah melewati acara yang membosankan berkumpul dengan orang-orang tua, aku pun meminta ijin untuk meminjam toilet di rumah tersebut. Sebenarnya sih, untuk mencari wanita yang kutemui tadi pagi. Kulihat dia sedang duduk di sofa sambil memainkan hapenya.
            “Permisi, mbak. Mau numpang ke toilet,” ucapku. Dia hanya tersenyum melihatku kemudian kembali asyik dengan hapenya. Aku semakin penasaran dibuatnya. Kenapa tanggapannya begitu datar? Aku berdiam diri cukup lama di toilet sambil memikirkan langkah dan strategi yang harus ku ambil agar aku dapat mengetahui namanya.
            Tak lama kemudian aku pun keluar dari toilet. Kulihat dia masih asyik di tempatnya tadi sambil sesekali melihat ke arah televisi. Aku pun memberanikan diri menyapanya.
            “Lho, mbak. Gak ikut ke depan?” tanyaku sambil membersihkan tangan dengan saputangan yang kubawa.
            “Males ah.” Aku terkejut mendengar pengakuan darinya. Aku hanya tersenyum mendengar jawabnya. Tapi, aku terkejut ketika dia membanting hapenya ke sofa. “Ah… Bosen,” keluhnya. Kemudian dia menarik tanganku pergi dari tempat itu. Tentu saja, aku lebih terkejut lagi.
            Aku pasrah saja dia mau membawaku kemana. Ternyata kami keluar rumah melewati pintu belakang. Kami berjalan menyusuri taman di sekitar perumahan ini. Sejenak suasana hening tanpa suara. Aku bingung mau bicara apa. Dari tadi pun dia terlihat diam dengan wajah murungnya. “Ehm, kita mau kemana sih?” tanyaku memecahkan keheningan.
            Dia terus diam. Wah, gadis yang misterius, pikirku. Tak lama dia pun mulai berbicara. “Ahh… Dari dulu tuh hidup ngebosenin banget ya?” ucapnya.
            “Bosenin gimana?”
            “Gak ada tantangan. Pengen banget nyoba hal baru. Rasanya gak keren deh, kalo ga ngelakuin hal-hal yang menantang gitu. Bener gak?” tanyanya mencoba mendapat persetujuanku.
            “Yah… bener juga sih.”
            “Hmm, akhirnya ada juga yang ngertiin. Aku Tifa. Kamu?”
            “Eh.. Ehmm.. Firman,” jawabku.
            “Oke, Fir. Aku jadi suka kamu. Jadi, pacarku yah,” pintanya.
            Mataku terbelalak kaget. “Ap, Apa? Kamu gak salah ngomong? Tadi kamu bilang, jadi pacar kamu?” tanyaku memastikan.
            “Kenapa? Gak mau? Gak suka? ”
            “Jelas mau lah, eh… maksudku, apa gak terlalu cepat?” ucapku gugup.
            “Aku suka kamu, kamu juga suka ma aku kan? Kamu ya ngerti aku. Udah, kita cocok. Simple kan?”
            Aku melongo mendengar jawaban darinya. Apa-apaan ini? Tapi, yah… mujur, aku tidak perlu susah payah sampai harus buang uang buat dapat cewek cantik sepertinya. Maklum, aku juga sudah 2 tahun melajang.
            Sudah beberapa bulan, kami menikmati masa-masa pacaran kami. Saat ini dia kuliah di jurusan informatika. Aku sendiri tengah bekerja di bagian desain sebuah perusahaan konstruksi. Bulan ini, perusahaan akan membangun sebuah pabrik di kawasan pinggiran kota. Tentu saja, aku sangat sibuk membuat desain bersama rekan satu timku. Berulang kali aku mendapat teguran karena desain yang tidak sesuai dengan permintaan atasan. Padahal, tidak biasanya aku kehilangan konsentrasi seperti ini. Kalian tahu kenapa?
            Ya… semua bermula sejak aku berhubungan dengan Tifa. Awalnya, hubungan kami baik-baik saja. Tapi, semakin lama Tifa semakin sulit diterka. Tanpa sepengetahuanku hampir setiap malam, dia pergi sendirian menuju bar di kota. Aku tak pernah tahu, sampai aku mengetahuinya dari rekan kerjaku, Shinta, yang kekasihnya bekerja disana. Sampai suatu malam, aku bertekad membuktikan semua perkataan Shinta. Ternyata apa yang kutakutkan selama ini benar. Di bar tempat kekasih Shinta bekerja, aku melihat Tifa sedang duduk menyendiri di sudut ruangan dengan sebotol bir. Disana Tifa terlihat sedang menikmati sebatang rokok dan musik dari bar ini.
            Aku terkejut bukan main melihat Tifa seperti itu. Hampir saja aku tidak mengenalnya. Berulang kali aku mengedipkan mata memperhatikan wanita itu. Langsung saja, aku menghampirinya, “Tifa…?”
            Dia terlihat mendongak dan terkejut melihat kedatanganku. Spontan dia langsung mematikan rokoknya dan mengambil tas yang ada disampingnya. Dia segera melangkah keluar. Aku berusaha mengejarnya.
            “Tifa, tunggu…” ujarku.
            “Mau apa sih? Mata-matain aku?” tanyanya kesal.
            “Kamu ngapain disana?” tanyaku balik. Dia terlihat bingung mau menjawab apa. Kulihat pakaiannya begitu minim. Aku melepas jaketku untuk kupakaikan kepadanya. Tapi, dia menepisku. “Mau kamu apa sih?” ucapku emosi.
            “Kamu tuh udah buat aku bad mood tau gak. Ngapain juga kamu datang? Ganggu kesenangan orang aja,” jawabnya ketus.
            “Ganggu kesenangan orang? Kayak gitu kamu bilang senang? Kamu mau ngerusak diri kamu sendiri apa?”
            “Eh… dengerin ya. Ini hidup aku. Mau rusak, mau ancur, itu urusanku. Ngapain juga kamu ikut campur!” Aku tak percaya dengan apa yang kudengar. Sementara dia sudah memanggil taksi untuk pulang kerumahnya. Aku hanya diam terpaku dan membisu.
            Esok harinya, aku membuka sebuah pesan di handphone-ku. Maafin aku, kemarin aku khilaf. Aku bosen banget akhir-akhir ini. Kamu juga jarang ada waktu lagi buat aku. Aku menghela nafas panjang membaca pesan itu. Lalu, kubalas pesan itu segera, Iya, aku ngerti. Oke, doain desainku diterima ya. Ntar, aku ajak jalan-jalan deh, ya? Tak lama aku sudah menerima balasan pesan dari dia. Oke sayang. Love you.
            Aku kembali berkutat pada aktivitas harianku. Sekarang hari terakhir penyerahan desain. Sudah dua kali aku gagal, kali ini aku berdoa semoga saja berhasil. Alhasil, atasanku kali ini sangat menyukai rancangan yang kubuat. Bahkan beliau memintaku mempresentasikannya secara langsung di hadapan jajaran direksi. Betapa bahagia dan bangganya aku. Ini adalah langkahku agar bisa naik jabatan tahun ini. Aku kembali mengirim pesan pada Tifa. Desainku diterima. Makasih doanya. Jam 5 sore nanti aku jemput. See you, sayang. Aku pulang dengan perasaan bahagia yang luar biasa. Malam harinya pun Tifa juga nampak bahagia. Rasanya, kejadian kemarin tak pernah ada dalam hidupku.
            Pagi ini, aku berpakaian sangat rapi. Aku meminta doa restu kedua orang tuaku. Tak lupa aku pun berdoa agar presentasiku hari ini lancar. Jantungku berdegup kencang tak sabar melihat reaksi jajaran direksi nantinya. Aku menyiapkan file-file penting dalam map ku. Tentu saja aku juga membawa laptopku. Aku pastikan lagi segala desain dan slide yang akan aku presentasikan. Semua beres…
            Aku segera menuju ruang rapat. Aku sengaja datang 1 jam lebih cepat untuk mempersiapkan semuanya. Atasanku terlihat senang dengan persiapanku yang matang. Sampai satu hal menghancurkan itu semua. Temui aku sekarang! Aku benar-benar tidak paham apa maksud cewek ini. Aku mau presentasi, sayang. Maaf, tunggu sampai aku pulang. Tak lama kemudian, dia membalas pesanku. Aku bilang, temui aku sekarang! Aku gak mau tau kamu lagi apa. Cepet!
            Ini cewek sepertinya sudah gila, pikirku. Aku membalas pesan itu sekali lagi. Maaf, presentasiku lebih penting. Sengaja ku jawab agak ketus, agar dia tahu keadaanku. Ku matikan handphone-ku agar aku lebih konsentrasi pada presentasiku.
            Tak lama, seorang office boy memanggilku. “Ada apa ya?” tanyaku padanya. “Maaf pak, ada telepon di ruang receptionist untuk bapak.” Aku pun segera menghampiri meja receptionist.
            “Halo, dengan saya Firman, ada yang bisa saya bantu?”
            “Fir, aku butuh kamu sekarang. Bisa gak sih kamu juga ngertiin aku?” ucap orang di seberang telepon itu yang ku tahu dari suaranya adalah Tifa.
            “Ngapain kamu sampai telepon kantor begini. Ada masalah apa?”
            “Kita ketemu sekarang. Nanti aku jelasin semua. Aku butuh kamu, cepet!.”
            “Aku gak bisa. Aku lagi ada presentasi dengan atasanku. Ini satu-satunya kesempatan untuk menaikkan jabatan,”jawabku sabar.
            “Kamu kesini atau aku bunuh diri?” Aku terkejut mendengar jawaban itu. kemudian, telepon langsung terputus. Otakku langsung kacau dibuatnya. Kulihat masih ada waktu 30 menit sampai presentasi dimulai. Mungkin masih sempat.
            Aku pamit pada atasanku untuk keluar sebentar karena ada keperluan. Atasanku berpesan untuk jangan lama-lama. Beliau juga hanya memberiku waktu sekitar 15-20 menit untuk mengurusi keperluanku. Aku segera menaiki motorku untuk menemui Tifa. Kulihat dia sedang duduk di depan rumahnya sambil menangis.
            “Kenapa?” tanyaku.
            “Aku bingung. Gak tahu harus gimana…” ucapnya sambil memelukku. “Aku ketahuan.”
            Aku bingung apa yang dia maksud. “Apaan sih? Soal apa?”
            “Aku ketahuan orang tuaku kalo aku sering keluar malam. Mereka juga nemuin sebungkus rokok yang udah aku sembunyiin ditumpukan pakaian. Sekarang mereka marah. Bahkan, kalau aku ga bisa ngerubah kebiasaan burukku, aku bakal diusir. Aku gak tahu ntar mesti tinggal dimana…”
            “Haduuuh, kamu kan tinggal berhenti, itu aja! Aku juga udah bilang kan kalo kebiasaanmu tu buruk. Tentu saja, orang tuamu marah. Ga cuma orang tuamu aja, aku juga…”
            “Kamu mbela orang tuaku? Aku udah bilang kan, itu kesenanganku. Aku gak bisa ngelepasin gitu aja. Aku bisa gila kalau ngelepas itu semua.” Aku benar-benar tidak habis pikir, Tifa sangat egois mementingkan kesenangannya. Aku melihat jam di tanganku sudah pukul 10.45, sudah 20 menit berlalu sejak aku meninggalkan kantor. “Ya udah, mending renungin aja semua kebiasaanmu itu,” ujarku sambil beranjak pergi.
            Aku masih ada waktu 10 menit sampai tiba di kantor. Itupun pasti aku akan dimarahi oleh atasanku. Tapi, ternyata aku membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk sampai di kantor. Jalanan yang ku lalui sangat macet siang itu. Tiba di kantor, aku langsung menuju ruang rapat. Aku membuka pintu ruang rapat. Tapi, tak ada seorang pun yang berada di sana. Aku langsung menemui atasanku untuk meminta maaf atas apa yang telah terjadi.
            “Semua jajaran direksi sudah terlalu lama menunggu. Mereka baru saja kembali. Kamu tahu, aku benar-benar berharap pada desainmu kali ini. Tapi, kamu sudah sangat mengecewakan,” ujar atasanku marah.
            “Maafkan saya pak…” sesalku.
            “Terserah, lebih baik cepat keluar. Kurasa, perusahaan ini sudah tidak cocok denganmu. Tunggu saja uang pesangonmu nanti.” Aku sangat terkejut mendengar perkataan beliau. “Tapi pak…” Atasanku terlihat sudah sibuk dengan telepon yang baru masuk. Dengan isyarat tangannya, beliau kembali menyuruhku keluar.
Seandainya aku lebih tahu mana yang lebih penting bagi hidupku, mungkin kejadiannya tak akan seperti ini. Aku kecewa, hidupku benar-benar hancur saat itu. Perasaanku pada Tifa berubah seketika. Pada awalnya, aku suka padanya. Tapi, lambat laun, aku kasihan padanya. Aku memang memaksakan diri untuk terus menyayanginya dibalik sisi lain dari seorang Tifa.
Aku bertekad setelah aku menerima surat pemecatan dari kantorku, aku bermaksud untuk mengabdi di kota orang. Ayahku merekomendasikan ke pulau Sumatra di salah satu perusahaan temannya. Aku meninggalkan kotaku dan Tifa. Aku sudah tak ingin lagi memaksakan hatiku untuknya. Sungguh, perasaanku sakit sendiri ketika harus memaksakan diriku untuk menyayanginya. Sebuah surat mungkin adalah satu-satunya cara mengakui perasaanku padanya.
Tifa… kuharap kamu tidak bersedih dengan semua keputusan yang telah aku ambil. Semua ini juga demi kebaikanmu. Maaf… hanya itu yang bisa kukatakan. Tifa… saat pertama kali kita bertemu, aku memang menyukaimu. Tapi, mungkin itu hanya sebatas rasa suka ku padamu. Aku juga baru tahu, kamu tidak suka jika kesenanganmu diganggu. Aku hanya berpesan, buang jauh-jauh kebiasaan yang kamu anggap kesenangan itu. Semua itu akan menghancurkanmu kelak. Tifa… maaf, jika aku harus mengakhiri hubungan ini. Kini, yang ada hanya aku dengan hidupku dan kamu dengan kehidupanmu. Tak ada lagi yang melarangmu. Lupakan aku, lupakan aku yang selalu ada di sisimu. Lupakan semua yang telah ku beri untukmu. Lupakan aku, yang terkadang membuatmu sedih. Jika nanti kita dipertemukan, kuharap kita bisa bersama lagi sebagai teman. Terima kasih, dan selamat tinggal…

(Inspired by Kotak ~ Pelan Pelan Saja)

Terima kasih telah membaca ~ Ditunggu komentarnya... ^^

0 komentar: